Terpukul Perang Dagang, Laba Industri Manufaktur Tiongkok Makin Anjlok

ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer
Ilustrasi. Ekonomi Tiongkok diperkirakan hanya tumbuh 6,2% pada tahun ini.
Penulis: Agustiyanti
27/11/2019, 11.54 WIB

Laba perusahaan-perusahaan manufaktur Tiongkok turun 9,9% secara tahunan pada Oktober menjadi US$ 428,56 miliar atau sekitar Rp 857 triliun. Kondisi ini menunjukkan perekonomian Negara Tembok Raksasa ini kian sulit akibat perang dagang dengan Amerika Serikat.

Mengutip Reuters, Biro Statistik Nasional mencatat penurunan ini merupakan yang terdalam sejak delapan bulan terakhir. Pada September 2019, laba industri turun 5,3%.

Sektor industri Tiongkok berada di bawah tekanan dalam beberapa bulan terakhir akibat perlambatan permintaan di dalam negeri dan dampak perselisihan dagang dengan AS.

"Penurunan besar pada laba Oktober menunjukkan ekonomi riil masih menghadapi banyak kesulitan," kata Nie Wen, Ekonom di Hwabao Trust yang berbasis di Shanghai.

Ia menyebut perusahaan-perusahaan industri di negara itu sekarang menghadapi pukulan ganda dari penurunan harga dan biaya pendanaan yang lebih tinggi. Penurunan laba industri diperkirakan masih akan berlanjut.

(Baca: Ekonomi Tiongkok Suram, Penjualan Retail dan Industri Melambat)

Penurunan laba perusahaan manufaktur semakin dalam pada Oktober akibat pendapatan tergerus 4,9% pada sepanjang 10 bulan pertama tahun ini dibanding periode yang sama tahun lalu. Sementara dalam sembilan bulan pertama tahun ini, penurunannya mencapai 3,9%.

Di sisi lain, pertumbuhan laba sektor pertambangan juga moderat. Pada Januari-Oktober, keuntungan perusahaan sektor pertambangan turun 2,9% dari tahun sebelumnya menjadi 5,02 triliun yuan atau sekitar Rp 10.040 triliun.

Penurunan tersebut lebih dalam dibanding Januari-September sebesar 2,1%.

Indeks harga produsen Tiongkok yang menjadi indikator utama dari profitabilitas perusahaan sebelumnya mencatat penurunan tertajam dalam lebih dari tiga tahun terakhir pada Oktober. Hal ini disebabkan harga bahan baku yang melemah.

Purchasing Manager Index manufaktur resmi negara itu juga menunjukkan kontraksi dalam kegiatan selama enam bulan berturut-turut pada September dengan pesanan ekspor baru turun untuk bulan ke-17 berturut-turut.

(Baca: Mitigasi Resesi, INDEF Beri Rekomendasi untuk 8 Kementerian)

Terlepas dari tanda-tanda kemajuan negosiasi perdagangan baru-baru ini, ada ketidakpastian yang tumbuh, yakni apakah Beijing dan Washington dapat mencapai kesepakatan yang akan menunda kenaikan tarif AS. Negara Paman Sam ini berencana mengenakan barang-barang Tiongkok yang dijadwalkan berlaku pada 15 Desember.

"Kami memperkirakan pertumbuhan laba industri tetap lambat, mengingat prospek pertumbuhan yang memburuk dan meningkatnya ketidakpastian di tengah-tengah konflik perdagangan AS-China," kata Analis Nomura dalam sebuah catatan kepada klien setelah rilis data.

Sebelumnya, Bank Sentral Tiongkok atau BOC baru-baru ini menurunkan bunga pinjaman utamanya. Otoritas moneter ini juga telah berjanji untuk mendorong kredit dan menurunkan biaya pendanaan guna membantu perekonomian.

BOC pada Senin juga memperingatkan peningkatan risiko penurunan ekonomi akibat perlambatan pertumbuhan meskipun berbagai stimulus fiskal dan moneter sudah digelontorkan tahun ini.

Sementara itu, jajak pendapat Reuters dengan para analis memperkirakan pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan tergelincir ke level terendah dalam 30 tahun mendekati 6,2% tahun ini dan kemudian turun menjadi 5,9% pada 2020.