Perbankan global seperti HSBC, Standard Chartered, dan Bank of East Asia hingga orang terkaya di Hong Kong, Li Ka-shing, meminta stabilitas politik di wilayah tersebut dipulihkan. Jika tidak, posisi Hong Kong sebagai salah satu pusat finansial global bakal terancam.
HSBC, yang sudah menjalankan bisnisnya di Hong Kong sejak 1865, memasang iklan di lima surat kabar lokal, termasuk Hong Kong Economic Journal, Wen Wei Po, dan Ming Pao. "Stabilitas sosial dan kualitas untuk tetap tenang menghadapi berbagai tantangan adalah kunci kesuksesan Hong Kong," kata HSBC dalam iklan yang dimuat Kamis (22/8), seperti dikutip CNBC Business.
Penegakan hukum sangat penting untuk mempertahankan status Hong Kong sebagai pusat keuangan internasional. Oleh karena itu, HSBC mendukung pendekatan damai untuk memecahkan masalah-masalah di kawasan tersebut.
Standard Chartered, bank asal Inggris yang sudah beroperasi selama 160 tahun di Hong Kong, dalam iklannya di beberapa surat kabar mendukung pemerintah Hong Kong dan prinsip "Satu negara, dua sistem" yang diterapkan di Hong Kong sejak bekas koloni Inggris itu dikembalikan ke Tiongkok pada 1997.
Stanchart memasang iklan satu halaman penuh di tiga media cetak, Kamis (22/8). "Hanya di lingkungan yang damai dan rasional kita bisa memfasilitasi komunikasi, memecahkan perbedaan, dan membuka masa depan yang indah bagi kota metropolitan internasional ini," tulis Stanchart.
(Baca: Bursa Saham Asia Berguguran Gara-gara Aksi Demonstrasi di Hong Kong, IHSG Turun 0,47% di Sesi I)
Stanchart mengharapkan ada resolusi damai yang bisa memecahkan gejolak sosial di Hong Kong. Dengan demikian, posisi Hong Kong sebagai pusat finansial global tetap terjaga.
Aksi unjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang Ekstradisi telah memasuki pekan ke-12 sejak Juni 2019. Pemimpin aksi mengklaim ada 1,7 juta orang yang bergabung dalam aksi damai, Minggu (18/8) lalu. Unjuk rasa akan berlangsung hingga beberapa hari ke depan.
Berbagai insiden bentrokan antara pengunjuk rasa dan aparat keamanan terjadi. Pekan lalu, seorang wartawan dari Tiongkok ditahan para pengunjuk rasa di Bandara Internasional Hong Kong. Bulan lalu, sekelompok preman yang bersenjatakan lempengan besi dan alat pemukul lainnya menyerang para demonstran di stasiun kereta bawah tanah.
(Baca: Dampak Demonstrasi, Orang Kaya di Hong Kong Ajukan Visa ke Australia)
Li Ka-shing Imbau Tiongkok Tidak Menggunakan Kekerasan
Kekerasan ini membuat para pengusaha dan korporasi angkat bicara. Tak terkecuali orang terkaya di Hong Kong, Li Ka-shing. Ia memasang iklan satu halaman penuh di Hong Kong Economic Times dan Hong Kong Economic Journal. Iklan itu bergambar lingkaran merah dengan tanda silang di atas huruf China di dalamnya yang berarti kekerasan. Iklan lainnya bertuliskan, "Cintailah Tiongkok, Cintailah Hong Kong, Cintailah Dirimu Sendiri."
Guru Besar Sastra Tiongkok di Universitas Pennsylvania, Victor Mair, mengatakan iklan Li Ka-shing itu memiliki pesan terselubung. "Li Ka-shing memberi rekomendasi agar pemerintah Tiongkok tidak menggunakan kekerasan (untuk menghadapi para demonstran) dan membiarkan Hong Kong mengurus masalahnya sendiri," kata Mair seperti dikutip National Public Radio Inc.
Sementara itu, Bank of East Asia menyerukan upaya untuk membangun harmoni dan mendorong perekonomian dalam iklan yang dipublikasikan di tiga surat kabar lokal. "Kami mengutuk segala jenis kekerasan dan berharap Hong Kong bisa mengembalikan kedamaian dan keteraturan sehingga bisa fokus menghadapi tantangan-tantangan lainnya," kata bank tersebut kepada CNN Business. Dalam presentasi kinerjanya awal pekan ini, Bank of East Asia menyebut ketegangan di Hong Kong menggerus kepercayaan konsumen dan dunia usaha, serta mengurangi kunjungan wisatawan.
(Baca: Hong Kong Rusuh, Alibaba Tunda Rencana IPO Senilai Rp 214 Triliun)
Para pejabat Hong Kong juga memberi peringatan soal dampak negatif tensi sosial politik di kawasan tersebut terhadap kinerja ekonomi. Hong Kong sudah merasakan dampak dari perlambatan ekonomi Tiongkok dan perang dagang Amerika Serikat-Tiongkok. Pekan lalu, pemerintah Hong Kong mengumumkan paket stimulus ekonomi senilai US$ 2,4 miliar atau sekitar Rp 33,6 triliun untuk menjaga agar Hong Kong tidak mengalami resesi.
Pada kuartal II 2019, ekonomi Hong Kong hanya tumbuh 0,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Ini adalah pertumbuhan ekonomi kuartalan terendah yang tercatat dalam satu dekade terakhir.
(Baca: Terancam Resesi, AS Kaji Pangkas Pajak Keuntungan Jual Aset)