Huawei Kena Sanksi, Raksasa Produsen Chip AS Berpotensi Rugi Rp 286 T

ANTARA FOTO/REUTERS/JASON LEE
Sanksi AS terhadap Huawei akan berdampak pada produsen semikonduktor yang selama ini menjadi pemasok bagi perusahaan tersebut.
Penulis: Hari Widowati
21/5/2019, 10.17 WIB

Sanksi yang dijatuhkan pemerintah Amerika Serikat (AS) terhadap Huawei Technologies bukan sekadar merugikan Tiongkok. Produsen chip asal AS, seperti Qualcomm, Broadcomm, Intel, dan Xilinx diprediksi bakal merugi US$ 20 miliar atau sekitar Rp 286 triliun karena tidak bisa menjual produknya ke Huawei.

Kabar buruk ini menekan harga saham-saham perusahaan teknologi di Bursa Nasdaq pada perdagangan Senin (20/5) waktu setempat. Menurut Bloomberg, harga saham Xilink anjlok lebih dari 5% sedangkan harga saham Qualcomm turun lebih dari 4%. Saham Analog Devices, Broadcom, Advanced Micro Devices juga tertekan dengan larangan yang dikenakan pemerintah AS kepada Huawei. Harga unit ETF VanEck Vectors Semiconductors juga turun 3%.

"Kita berbicara dampak senilai puluhan miliar dolar. Kerugian bisnis ini akan memperlambat investasi oleh produsen chip AS dan mengurangi daya saing industri semikonduktor AS," ujar Analis Senior Evercore, CJ Muse, seperti dikutip NBC News.

Analis RBC Mitch Steves juga menilai sanksi AS untuk Huawei juga akan berdampak pada perusahaan teknologi AS yang memiliki pendapatan dari pasar Tiongkok dan jaringan 5G. Analog Devices mendapatkan 12,5% pendapatannya dari produk-produk 5G, sementara Skyworks Solutions, Qorvo, Broadcom, Qualcomm, dan Xilinx bergantung pada infrastruktur 5G. Begitu pula dengan perusahaan data center kelas atas seperti Nvidia dan Advanced Micro Devices.

"Kami melihat dampak sanksi terhadap Huawei maupun Tiongkok berdampak negatif terhadap industri semikonduktor. Harga bahan baku semikonduktor akan lebih mahal 5-10%," ujar Steves dalam laporannya.

Langkah pemerintah AS menyetop akses Huawei kepada perusahaan-perusahaan teknologi merupakan tindaklanjut dari kenaikan bea impor terhadap produk-produk Tiongkok senilai US$ 200 miliar atau sekitar Rp 2.860 triliun. Muse menilai, kebijakan ini merupakan taktik negosiasi pemerintah AS agar Tiongkok bisa diajak berdiskusi. "Meskipun Presiden Trump yakin dia menang dalam negosiasi dengan Tiongkok, kita sudah mendorong Tiongkok terlalu jauh dan perang dingin di sektor teknologi memanas," kata Muse.

(Baca: Efek Perang Dagang, Intel dan Qualcomm Setop Kerja Sama dengan Huawei)

Potensi Resesi Ekonomi

Kekhawatiran terhadap perang dagang AS-Tiongkok yang berkepanjangan membuat indeks-indeks utama di Wall Street jatuh. Indeks S&P 500 sudah merosot hampir 4% dari level tertinggi sepanjang masa dan mendekati level terendah sejak Desember 2018.

Tim analis Morgan Stanley memperingatkan bahwa runtuhnya negosiasi dagang dan perang tarif yang berlarut-larut antara AS-Tiongkok bisa mendorong perekonomian global menuju resesi. "Jika negosiasi macet, tidak ada kesepakatan yang diraih dan AS menerapkan tarif impor 25% terhadap produk-produk Tiongkok senilai US$ 300 miliar, ekonomi dunia akan menuju resesi," tulis analis Morgan Stanley seperti dikutip Reuters.

Dalam laporan tertulis yang dikirimkan kepada para nasabah, Morgan Stanley menyebut skenario seperti di atas akan membuat Bank Sentral AS (The Fed) untuk memangkas suku bunga acuannya kembali ke level nol persen pada musim semi 2020. Sementara itu, pemerintah Tiongkok diprediksi akan menambah stimulus fiskalnya menjadi 3,5% dari PDB atau sekitar US$ 500 miliar. Otoritas Tiongkok juga akan mendorong pertumbuhan kredit ke level 14-15%.

Dalam skenario menengah di mana AS menerapkan bea masuk 25% terhadap produk Tiongkok senilai US$ 200 miliar, pertumbuhan ekonomi global bisa melambat sekitar 50 bps menjadi 2,7% per tahun. The Fed akan merespons hal ini dengan memangkas suku bunga acuan sebesar 50 bps. Adapun pemerintah Tiongkok akan meningkatkan ekspansi fiskalnya menjadi 2,25% PDB atau US$ 320 miliar.

Jika pertumbuhan ekonomi global melambat, laba bersih dari perusahaan-perusahaan multinasional pun akan tergerus. Perusahaan juga kesulitan membebankan kenaikan tarif impor kepada konsumen. "Eskalasi perang dagang ini hanya sementara tetapi kami melihat tingginya ketidakpastian mengingat perkembangan negosiasi dagang saat ini," tulis analis Morgan Stanley. Alhasil, perusahaan-perusahaan multinasional diprediksi akan mengurangi belanja modalnya di tengah ketidakpastian ini.

(Baca: Buntut Perang Dagang, Google Setop Akses Huawei ke Sistem Android )