Pertumbuhan ekonomi Tiongkok sepanjang tahun lalu hanya tumbuh 6,6% akibat lemahnya investasi, meredupnya kepercayaan konsumen, dan tekanan perang dagang dengan Amerika Serikat (AS). Angka pertumbuhan ekonomi Tiongkok ini merupakan angka terendah dalam 28 tahun terakhir.

Menurut data yang dirilis Biro Statistik Nasional, pada kuartal IV 2018 ekonomi Tiongkok hanya tumbuh 1,5% jika dibandingkan dengan kuartal III 2018. Jika dihitung secara tahunan, pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada kuartal terakhir tahun lalu mencapai 6,4%. Hal ini menambah kekhawatiran terhadap prospek pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini.

Sejumlah ekonom menilai pemerintah Tiongkok akan mengucurkan berbagai stimulus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Kepala Ekonom IHS Markit untuk Asia Pasifik, Rajiv Biswas, mengatakan Bank Sentral Tiongkok telah memangkas ketentuan giro wajib minimum (GWM) dan diperkirakan akan meluncurkan kebijakan lain yang akan menopang perekonomian. Di sisi lain, pemerintah akan meningkatkan belanja infrastruktur dan memangkas pajak.

"Kami berharap pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun ini relatif kuat di sekitar 6,3%. Hal ini akan mendukung stabilitas nilai tukar yuan dan menahan gejolak di pasar modal," kata Biswas seperti dilansir Reuters, Senin (21/1). Risiko terbesar yang dihadapi pertumbuhan ekonomi Tiongkok adalah memburuknya perang dagang antara negara tersebut dengan AS. Jika tidak terjadi kesepakatan pada semester I 2019 dan ketegangan perang dagang meningkat, hal ini akan berdampak buruk pada yuan, prospek pertumbuhan ekonomi, dan pasar modal Tiongkok.

Kepala Ekonom Daiwa Institute of Research Tokyo Naoto Saito mengatakan, data-data ekonomi Tiongkok memang menunjukkan adanya perlambatan. "Tiongkok dihantam tiga faktor: perlambatan ekonomi global akibat kenaikan suku bunga AS, perang dagang AS-Tiongkok, dan permintaan telepon seluler yang lemah berkontribusi terhadap 70% penurunan ekspor Tiongkok pada Desember lalu," ujar Naoto.

(Baca: The Fed Diprediksi Tak Agresif, BI Tahan Bunga Acuan 6%)

Untuk mendukung perekonomian, ada beberapa strategi yang akan ditempuh pemerintah. Mereka bisa meningkatkan belanja infrastruktur dan menurunkan ketentuan GWM sehingga belanja modal tidak terganggu. Namun, konsumsi masyarakat diperkirakan belum pulih mengingat kepercayaan konsumen tergerus oleh perang dagang Tiongkok-AS.

Sementara itu, Kepala Ekonom Moody's Analytics untuk Asia-Pasifik Steve Cochrane mengatakan, pemerintah Tiongkok akan menggunakan stimulus-stimulus untuk memastikan perekonomiannya berada di jalur yang benar. Bank sentral dapat kembali menurunkan ketentuan GWM perbankan dan memangkas sejumlah pajak. "Kesulitannya ada pada upaya untuk mendorong konsumsi masyarakat karena konsumen memiliki utang yang tinggi," kata Cochrane.

Beban utang yang tinggi juga dihadapi oleh korporasi dan pemerintah daerah di Tiongkok. "Jadi, pertanyaannya bukan bagaimana pemerintah bisa memberikan stimulus tetapi seberapa efektif stimulus tersebut mendorong ekonomi," ujar Cochrane.

Rasio utang rumah tangga (household debt) di Tiongkok membengkak dari 17,9% PDB pada 2008 menjadi 49% PDB pada akhir 2017. Angka ini di atas rata-rata rasio utang rumah tangga di negara-negara berkembang yang sebesar 39,8% PDB.

Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), rasio utang rumah tangga terhadap PDB yang menguntungkan bagi perekonomian suatu negara adalah di bawah 10% PDB.  Ketika rasio ini sudah menyentuh 30% PDB, pertumbuhan ekonomi jangka menengah dari negara tersebut akan terpengaruh. Jika rasio utang rumah tangga terhadap PDB di atas 65%, stabilitas finansial negara itu akan terganggu.

(Baca: Proyeksi Ekonomi 2019: Optimisme Pemerintah vs Pesimisme Lembaga Dunia)