Suhu politik di kawasan Timur Tengah kembali memanas setelah Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Bahrain memutuskan hubungan kenegaraan dengan Qatar. Pemutusan hubungan yang sudah terjalin selama 36 tahun itu karena Qatar dianggap memberi dukungan kepada teroris. Hal ini langsung menyulut kenaikan harga minyak dunia.

Di bursa New York, Amerika Serikat (AS), harga minyak jenis WTI untuk kontrak Juli mendatang sempat mencapai US$ 48,42 per barel atau naik 1,6 persen pada perdagangan Senin ini. Sedangkan harga minyak acuan Brent untuk kontrak Agustus naik 57 sen menjadi US$ 50,52 per barel di bursa ICE London.

Namun, analis dari Australia & New Zealand Banking Group Ltd. Daniel Hynes mengatakan, selama ini risiko-risiko geopolitik tidak membawa dampak begitu besar terhadap harga minyak. “Dan saya pikir begitu pula yang terjadi saat ini,” ujarnya dilansir Bloomberg, Senin (5/6).

Ia menjelaskan, keputusan kelompok negara-negara pengekspor minyak (OPEC) untuk memperpanjang pemangkasan produksi, telah membuat harga minyak acuan Brent naik menjadi sekitar US$ 50 per barel. Jadi, Hynes melanjutkan, jika harga minyak anjlok di bawah level tersebut, maka aksi beli akan memulihkannya secara cepat.

(Baca: Kontroversi Trump, Gedung Putih Siap-siap Hadapi Pemakzulan)

Pangkal soalnya adalah kantor berita nasional Arab Saudi melansir pengumuman bahwa pemerintah memutuskan hubungan dengan Qatar untuk menjaga keamanan nasional dari bahaya terorisme dan ekstremisme. Seluruh pelabuhan yang menghubungkan kedua negara itu akan ditutup.

Keputusan tersebut terkait dengan padangan Qatar yang lebih condong ke Iran. Padahal, Arab Saudi dan Iran bertentangan dalam sejumlah isu regional, termasuk program senjata nuklir Iran. Kedua negara juga berselisih karena Iran menanamkan pengaruhnya di Suriah, Lebanon, serta Yaman. 

Langkah Saudi memutuskan hubungan dengan Qatar itu diikuti oleh UEA dan Bahrain. Belakangan, Mesir dan Yaman ---yang tengah berselisih dengan kaum Houthi dukungan Iran, juga memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Qatar.

Pemerintah UEA menyebut tindakan Qatar yang kurang mempertahankan kedaulatan dan keamanan kawasan, termasuk manipulasi negara itu dalam sejumlah pakta.

Para tokoh nasionalis Qatar pun dilarang memasuki UEA. Sementara itu, warga negara Qatar yang tinggal di UEA diberi waktu dua pekan untuk meninggalkan negara tersebut.

Sementara itu, para diplomat Qatar memiliki waktu 48 jam untuk meninggalkan UEA. Bandara dan pelabuhan di antara kedua negara akan ditutup dalam 24 jam.

Adapun, Kementerian Luar Negeri Bahrain menyatakan penangguhan hubungan diplomatik dengan Qatar karena tindakan-tindakan Qatar yang merusak stabilitas Kerajaan Bahrain dan campur tangan dalam urusan dalam negeri kerajaan tersebut. Selain itu, Qatar dianggap mendukung kegiatan pasukan teroris bersenjata, dan mendanai kelompok-kelompok yang memiliki kaitan dengan Iran, untuk menyebarkan kekacauan di Bahrain.

Kantor berita Arab Saudi mengatakan pemerintahan negara tersebut segera mengambil langkah hukum terhadap Qatar. Sementara itu, Mesir menganggap Qatar telah melakukan aksi anti-Mesir.

Arab Saudi, UEA, Bahrain, Oman, dan Qatar pernah membentuk suatu aliansi regional yang dikenal sebagai Dewan Kerjasama Teluk (Gulf Cooperation Council). Aliansi ini dianggap yang paling berpengaruh di Timur Tengah. Berbeda dengan negara-negara lain, Kuwait dan Oman tetap mempertahankan hubungan mereka dengan Qatar.

Seperti dilansir CNN, Senin (5/6), peneliti senior dari Council of Foreign Relations Gayle Tzemach Lemmon menyebutkan dua teori yang mendasari keputusan negara-negara Arab itu menyudahi hubungan dengan Qatar. Pertama, Arab Saudi mendapatkan keberanian setelah kedatangan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Pemerintahan Trump memang berseberangan dengan Iran, yang didukung Qatar. Trump baru-baru ini mengunjungi ibukota Arab Saudi dan meminta 55 pemimpin muslim meningkatkan upaya dalam pemberantasan terorisme. (Baca: Di Depan Trump, Jokowi: Umat Islam Adalah Korban Terbanyak Terorisme)

Kedua, tensi yang terjadi belakangan telah memuncak, setelah kantor berita Qatar melansir pernyataan Emirnya, yang kemudian disebut sebagai peretasan.

Pemutusan hubungan diplomatik tersebut memang dilakukan dua pekan setelah Arab Saudi, UEA, Bahrain dan Mesir mencekal sejumlah kantor berita Qatar karena komentar yang dilontarkan pemimpin atau Emir Qatar, Syekh Tamim Al Hamad Al Thani. Al Thani diberitakan menyebut Iran sebagai “kekuatan Islam”. Ia juga mengkritik kebijakan keras Trump terhadap Iran.

Pernyataan Emir Qatar itu dilansir oleh kantor berita nasionalnya. Namun, Qatar mengklaim kantor berita tersebut diretas, dan berita itu dibuat oleh para pelaku peretasan.

(Baca: Mau Investasi Rp 67 Triliun, Uni Emirat Arab Minta Jaminan Pemerintah)

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Rex Tillerson menawarkan bantuan bagi negara-negara di kawasan Teluk tersebut yang sedang bertikai. “Kami ingin mendorong para pihak untuk duduk bersama dan membicarakan perbedaan-perbedaan yang ada. Jika memungkinkan, kami akan membantu,” katanya.