Menangkan Pemilu, Macron Janji Satukan Prancis yang Terpecah

REUTERS/Robert Pratta/ANTARA FOTO
8/5/2017, 11.24 WIB

Pemilihan Presiden Prancis akhirnya dimenangkan secara telak oleh Emmanuel Macron, ekonom yang selama ini mendukung Uni Eropa. Ia mengalahkan pesaingnya dari Front National, Marine Le Pen, politisi garis keras yang mengusung isu-isu proteksionisme dan antiimigran. Namun, pasca pemilihan, Macron berjanji menyatukan negaranya yang kini terpecah-belah.

Macron, 39 tahun, sebelumnya duduk di pemerintahan sebagai Menteri Ekonomi. Ia tidak berpihak kepada “sayap kanan” maupun “sayap kiri”. Macron unggul dengan perolehan suara 65,1 persen. Sementara itu, Le Pen hanya mengantongi 34,9 persen suara, berdasarkan penghitungan awal.

Macron menjadi satu-satunya politisi di luar partai tradisional utama Prancis sejak  1958 yang menjadi Presiden Prancis. Ia menilai akan ada perubahan besar dalam sejarah negaranya. “Saya menginginkan lembaran baru yang berisi harapan dan kepercayaan,” katanya seperti dilansir BBC, Senin (8/5).

(Baca: Investor Antusias Sambut Peluang Macron Jadi Presiden Prancis)

Ia menyatakan telah mendengar adanya amarah, kegelisahan, dan kecemasan. Jadi, Macron berjanji menjalani lima tahun kepemimpinannya untuk melawan perpecahan di Prancis.  Ia pun menjamin persatuan negaranya, serta membela dan melindungi Eropa.

Pendahulu Macron, yaitu Presiden François Hollande dari Partai Sosialis yang menunjuk Macron sebagai Menteri Ekonomi pada masa pemerintahannya, mengungkapkan harapan senada. “Kemenangan besarnya menjadi bukti bahwa mayoritas warga Prancis menginginkan persatuan,” katanya seperti dilansir The Guardian, Senin (7/5).

Sementara itu, mantan menteri sekaligus sekutu Macron, François Bayrou, menyatakan Macron membawa harapan bagi negara tersebut. “Harapan bahwa kami bisa melakukan sesuatu, lebih dari perpecahan antara kubu kanan dan kiri yang tidak masuk akal lagi,” ujarnya.

Seperti dilansir Reuters, Minggu (7/5), lembaga Bertelsmann Foundation pada dua pekan lalu menunjukkan hasil surveinya yang menggambarkan perpecahan Prancis selama masa pemilu. Sebanyak 20 persen pemilih diidentifikasikan sebagai ekstremis kubu kanan atau kubu kiri. Sementara itu, di Uni Eropa secara keseluruhan, jumlah pemilih dengan kelompok tersebut tercatat 7 persen.

Hanya ada 36 persen pemilih yang merupakan kaum sentris, tidak membela kubu liberal maupun konservatif. Di Uni Eropa, pemilih dari kelompok ini mencapai 62 persen. (Databoks: Berapa Perolehan Suara Pilpres Prancis Putaran Pertama?)

Para pemilih yang telah terpecah-belah akhirnya menggunakan hak mereka untuk menentukan Presiden Prancis. Kedua kandidat, yaitu Emmanuel Macron dan Marine Le Pen, bukanlah petahana.

The Straits Times pada Senin (8/5) memberitakan, pertaruhan dalam pemilu kali ini sangat tinggi. Bukan hanya untuk Prancis, tapi juga Eropa. Macron merupakan tokoh dari kubu sentris. Sementara itu pesaingnya, Le Pen, sangat menentang Uni Eropa. 

Merebaknya populisme selama beberapa tahun belakangan telah mendapat banyak dukungan di seluruh Eropa.

Macron memenangkan pemilu bukan hanya karena kebijakannya terhadap pasar bebas, reformasi pro-bisnis, serta janjinya untuk memperkuat Uni Eropa, tapi juga pendekatannya terhadap persoalan sosial.

Nama Macron, yang belum pernah masuk bursa pemilu presiden, baru mencuat tiga tahun lalu. Presiden termuda Prancis ini akan mulai menjalankan pemerintahan negaranya pada Sabtu mendatang dan memberlakukan situasi darurat.

Prancis masih menghadapi ancaman terorisme dan berjuang dengan perekonomiannya yang stagnan, setelah adanya pemutusan kerja besar-besaran selama berpuluh-puluh tahun terakhir.

Menyambut kemenangan Macron, ucapan selamat pun mulai berdatangan dari para pemimpin dunia. Kantor Perdana Menteri Inggris, Theresa May menyampaikan ucapan selamat atas kemenangan Macron. “Kami menantikan kerjasama dengan presiden baru dalam berbagai prioritas bersama,” katanya.

Sementara itu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump memberikan ucapan melalui akun Twitter-nya. “Selamat kepada Macron atas kemenangan besarnya sebagai presiden Prancis,” kata Trump yang akan bertemu dengan Macron dalam pertemuan NATO di Brussels, Belgia.  Sebelumnya pada masa kampanye pemilu Presiden Prancis, Trump menyebut Le Pen sebagai kandidat terkuat. 

Meski selisih perolehan suara Macron dan Le Pen cukup lebar, angka yang dicatatkan Le Pen memang  menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah untuk kubu far right. Bahkan, setelah penampilannya pada acara debat yang dianggap membahayakan di stasiun televisi, Le Pen diramalkan meraih 11 juta suara. Angka ini dua kali perolehan ayahnya, Jean-Marie Le Pen, yang mengikuti pemilu presiden tahun 2002.

Namun pada kenyataannya, angka yang diraih Le Pen merupakan yang terendah selama 40 tahun terakhir. Hampir sepertiga pemilih tidak memberikan suara untuk Macron maupun Le Pen. Ada 12 juta suara abstain.

Le Pen dengan cepat mengakui  kekalahannya. Meski demikian, ia mengklaim telah meraih angka terbanyak sepanjang sejarah untuk seorang oposisi di Prancis. Le Pen pun berjanji melakukan perbaikan besar-besaran terhadap partainya, Front National.

Ia juga berjanji menjalankan transformasi kubu far-right untuk membuka peluang partai terhadap pengembangan demi mendorong peluang dalam pemilu. Hal ini menjadi langkah utama Le Pen dalam normalisasi politiknya.

Perpecahan di masa pemilu tidak hanya dialami Prancis. Hal ini pun pernah terjadi di Amerika Serikat. Pemilu yang berlangsung pada 2016 itu telah menimbulkan perpecahan karena persoalan ras, etnis, serta kebuadayaan.

Pemilu telah memecah warga Amerika Serikat menjadi dua kubu koalisi besar. Keduanya hampir sama kuat, tapi sangat berbeda secara radikal dalam hal demografi dan pemikiran.

Saat Donald Trump keluar sebagai pemenang pemilu, para pemilih di sejumlah wilayah terpencil yang merasa dilupakan Presiden Barack Obama, bersuka cita. Mereka menilai Trump membawa kemenangan bagi mereka dalam hal perekonomian.

Sementara itu, ribuan warga minoritas, milenial, serta wanita di wilayah urban, berduka atas terpilihnya Trump. Mereka pun meluapkan kekecewaan dengan melakukan aksi protes besar-besaran di jalanan.

Mereka merasa takut kepemimpinan Trump hanya akan membawa Amerika Serikat ke masa kegelapan. (Baca: Bangkitkan Amerika, Trump Butuh Rp 13.400 Triliun buat Infrastruktur)

“Rasisme masih ada, dan nyatanya populer,” kata Heather McGhee, presiden kelompok liberal Demos Action seperti dikutip NBC News, 11 November 2016.