Kebijakan Trump Picu Unjuk Rasa Penghuni Silicon Valley

ANTARA FOTO/REUTERS/Jonathan Ernst
Donald Trump menandatangani perintah eksekutif pertamanya sebagai Presiden AS di Gedung Putih, Washington D.C., 20 Januari 2017.
Penulis: Pingit Aria
31/1/2017, 13.41 WIB

Senin petang waktu San Fransisco, sekitar dua ribu pegawai Google meninggalkan meja kerja mereka dan  turun ke jalan. Mereka berunjuk rasa untuk menentang kebijakan imigrasi yang baru dikeluarkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Ini bukan aksi liar. Sebab dua petinggi perusahaan raksasa internet itu yakni Sundar Pichai dan Sergey Brin –keduanya merupakan imigran–  turut berorasi. Video unjuk rasa itu dimuat pada channel Youtube oleh seorang peserta, Jeanne Allen.

Dalam orasinya, CEO Google Sundar Pichai menyatakan bahwa larangan masuk bagi warga dari tujuh Negara oleh Presiden Trump merupakan isu yang penting untuk dibahas. “Ini adalah nilai fundamental dalam perusahaan ini,” ujarnya, Senin (30/1) waktu setempat.

(Baca juga:  Ini Kondisi 7 Negara yang Warganya Ditolak AS)

Pichai yang berasal dari India menilai pembatasan imigrasi yang dijalankan oleh Trump berpotensi mempengaruhi setidaknya 187 karyawan Google. Mereka berasal dari tujuh Negara yang kini dilarang masuk ke Amerika Serikat.

Presiden dari induk usaha Google, Alphabet Sergey Brin berbagi pengalaman yang lebih personal. Lahir dari pasangan keturunan Yahudi Rusia, Yevgenia and Mikhail Brin pada 1973, ia bermigrasi ke Amerika Serikat bersama keluarganya saat berumur 16 tahun.

“Itu adalah masa yang sulit, puncak perang dingin di mana ada spionase dan ancaman nuklir, namun di saat seperti itu pun Amerika Serikat berani mengambil resiko untuk menerima saya dan keluarga saya sebagai pengungsi,” ujarnya disambut sorakan dari para demonstran.

Kisah selanjutnya seolah jadi legenda. Brin kuliah di Stanford, bertemu Larry Page, lalu bersama membangun Google. Sebelum berorasi di depan kantornya sendiri, Brin yang kekayaannya mencapai US$ 38,7 miliar atau sekitar Rp 516 triliun juga mengikuti unjuk rasa di Bandara San Fransisco, pada Jumat malam lalu.

(Baca juga: Larangan Visa dan Pelemahan Ekonomi AS Buat Dolar Bergejolak)

Tak hanya Google, penghuni Silicon Valley –markas bagi banyak perusahaan teknologi Amerika Serikat– lain pun turut bersuara.

CEO Apple, Tim Cook misalnya, menyatakan pentingnya pekerja imigran bagi perusahaan-perusahaan berbasis teknologi. "Apple sungguh meyakini pentingnya imigrasi, baik bagi perusahaan kita ataupun bagi masa depan negara ini. Apple tidak akan ada tanpa imigrasi, apalagi berkembang dan berinovasi," tulisnya dalam email yang dikutip Recode.

Lalu ada penyedia perangkat lunak Microsoft, di mana sekitar 76 karyawannya berasal dari negara yang untuk sementara dicekal oleh pemerintahan Trump. "Sebagai imigran dan CEO, aku telah mengalami dan melihat dampak positif imigrasi bagi perusahaan kita, bagi negara ini dan bagi dunia. Kita akan terus mendukung hal ini sebagai topik yang penting," sebut CEO Microsoft, Satya Nadella. Seperti Sundar Pichai, Satya Nadella juga berasal dari India.

Selain mereka, masih banyak lagi miliarder di jagat teknologi yang menentang kebijakan Trump. CEO Uber, Travis Kalanick, berjanji memberikan kompensasi pada sopir Uber yang gagal kembali ke Amerika Serikat karena negara asalnya masuk daftar cekal.

Petinggi Twitter yang layanannya jadi favorit Trump ikut buka suara. "Imbas ekonomi dan kemanusiaan dari perintah eksekutif ini sungguh nyata dan menjengkelkan. Kita telah diuntungkan dengan apa yang dibawa para pengungsi dan imigran ke Amerika Serikat," tulis CEO Twitter, Jack Dorsey.

(Baca juga: Komentari Kebijakan Imigrasi Trump, Jokowi : WNI Tak Perlu Resah)

Begitu juga bos Facebook Mark Zuckerberg. "Buyutku berasal dari Jerman, Austria dan Polandia. Sementara orang tua Priscilla (isteri Zuckerberg) adalah pengungsi dari Cina dan Vietnam. Amerika Serikat adalah negara imigran, dan kita harus bangga atas hal itu," tulisnya di Facebook.

Sebelumnya, pada Jumat pekan lalu, Presiden Donald Trump mengeluarkan perintah pelarangan masuk warga dari tujuh negara berpenduduk mayoritas muslim ke Amerika Serikat. Ketujuh Negara tersebut adalah Suriah, Irak, Iran, Yaman, Libya, Somalia, serta Sudan. Larangan ini berlaku selama 90 hari mendatang. Selain itu, pemerintahan Trump juga membekukan izin bagi para pengungsi selama 120 hari.