Tidak menunggu waktu lama, Presiden baru Amerika Serikat (AS), Donald Trump, langsung merealisasikan beberapa janji utamanya semasa kampanye dulu. Senin (23/1) kemarin, Trump meneken memp perintah yang menyatakan AS keluar dari pakta perdagangan Trans-Pacific Partnership (TPP). Nasib pakta dagang yang dibangun pendahulunya, Presiden Bush dan Obama tersebut kini terancam kolaps.
"Ini langkah hebat yang baru saja kami lakukan untuk para pekerja Amerika," ujar Trump usai meneken memo perintah tersebut di Ruang Oval, Gedung Putih, Washington, seperti dilansir Time, Senin (23/1).
Padahal, Pemerintahan Obama mendukung adanya pakta perdagangan TPP yang mencakup 12 negara regional tersebut. Perjanjian perdagangan bebas itu digadang-gadang bisa mendorong Amerika Serikat berkompetisi dengan Cina.
Sejak kampanye pemilihan presiden AS tahun lalu, Trump memang mengkritik perdagangan bebas dan perjanjian dagang multilateral dengan banyak negara. Alasannya, kerja sama itu lebih merugikan AS. Salah satu yang paling disorot adalah TPP. Apalagi, Trump memang mengusung kebijakan proteksionisme untuk membangkitkan perekonomian di dalam negeri.
(Baca: Belasan Langkah Drastis Trump dalam Dua Hari di Gedung Putih)
Keputusan Trump menarik Amerika Serikat keluar dari TPP menuai reaksi kontra, termasuk dari partainya sendiri, Partai Republik, yang meyakini perdagangan bebas. Mayoritas politikus dari Partai Republik, seperti John McCain, mengutuk keputusan tersebut.
Meski begitu, juru bicara Senat AS, Paul Ryan, memuji langkah Trump. "Presiden Trump langsung membayar janjinya tanpa buang waktu," ujar Ryan.
Sebanyak 12 negara di perbatasan Samudera Pasifik menandatangani TPP pada Februari 2016. Mereka mewakili 40 persen dari perekonomian dunia. Mereka adalah AS, Jepang, Malaysia, Vietnam, Singapura, Brunei, Australia, Selandia Baru, Kanada, Meksiko, Cile, dan Peru.
Pakta tersebut bertujuan meningkatkan hubungan ekonomi di antara negara-negara anggotanya. Caranya, melalui pemangkasan tarif serta mendorong perdagangan untuk menggenjot pertumbuhan. (Baca: Ketidakpastian Selimuti Pasar Keuangan Pasca Pidato Trump)
Semua anggota TPP juga diharapkan memiliki hubungan yang lebih erat dalam kebijakan dan peraturan ekonomi. TPP dirancang untuk menciptakan satu pasar tunggal baru, seperti halnya Uni Eropa. Namun, semua negara anggota TPP harus melakukan ratifikasi, agar pakta perdagangan tersebut dapat diimplementasikan.
Saat ini, baru Jepang yang sudah meratifikasi pakta dagang tersebut. Rencananya, pada Februari 2018, minimal ada enam negara yang meratifikasi pakta dagang itu atau mewakili 85 persen dari total ekonomi negara-negara anggota TPP. Jadi, kehadiran AS diperlukan untuk mencapai rencana tersebut.
Kini, pasca keputusan Trump, beberapa negara, termasuk Selandia Baru, telah menyarankan semacam kesepakatan alternatif TPP tanpa AS. Namun, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pesimistis dengan nasib TPP selanjutnya. Sebab, TPP tanpa AS yang memiliki 250 juta konsumen disebut Abe "tidak berarti".
(Baca: Proteksi Trump, Tantangan sekaligus Peluang bagi Ekspor Indonesia)
Pemerintah Indonesia melalui Presiden Joko Widodo sebenarnya sempat menyatakan minat bergabung dalam TPP. Namun, belakangan pemerintah lebih condong pada kemitraan dengan grup Cina melalui Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
Sementara itu, pada Minggu (22/1), Trump pun mengumumkan rencana pertemuannya dengan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau serta Presiden Meksiko Enrique Peña Nieto. Agenda pertemuan ini untuk membicarakan kemungkinan perombakan kerja sama dalam North American Free Trade Agreement (NAFTA), pakta perdagangan antara tiga negara itu yang ditandatangani Presiden Bill Clinton lebih 10 tahun lalu.