Trump Ancam Tak Bayar Utang ke Tiongkok, Apa Akibatnya?

ANTARA FOTO/REUTERS/Carlos Barria/foc/dj
Carlos Barria Presiden Amerika Serikat Donald Trump menghadiri konferensi pers tanggapan pandemi virus corona di Rose Garden, Gedung Putih, di Washington, Amerika Serikat, Senin (27/4/2020). Donald Trump mengancam tak akan membayar utang sebesar US$ 1,09 triliun ke Tiongkok karena berang negaranya terdampak corona.
6/5/2020, 22.02 WIB

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terus menyalahkan pemerintah Tiongkok atas penyebaran virus corona di negaranya. Berulangkali ia menyebut Tiongkok sengaja menyembunyikan informasi bahaya covid-19 ke dunia.

Pada akhir bulan lalu bahkan ia menyebut virus covid-19 berasal dari sebuah laboratorium virologi di Tiongkok. Untuk meyakinkan pernyataannya, Trump menyebut memiliki bukti atas hal itu.

“Saya tidak bisa mengatakannya kepada Anda. Saya tidak diperbolehkan memberitahu Anda soal itu,” kata Trump kepada wartawan di Gedung Putih, Kamis (30/4).

Dalam kesempatan sama, Trump juga menyebut akan memberi hukuman kepada Tiongkok dengan menaikkan tarif dagang. Kebijakan ini menurutnya menjadi salah satu opsi yang mungkin dilakukan terkait beratnya hubungan dagang AS-Tiongkok.

(Baca: Trump Sebut Punya Bukti Corona Berasal dari Laboratorium Tiongkok)

Tak berhenti di situ, Trump mengancam akan tak memenuhi kewajiban utang AS ke Tiongkok. Langkah ini disebut sebagai harga yang mesti dibayar Tiongkok atas perbuatannya menyebar virus corona ke AS dan seluruh dunia.  Hal ini terungkap dari pernyataan sumber Gedung Putih yang tak mau disebutkan namanya kepada Washington Post pekan lalu. 

“Menghukum Tiongkok adalah benar-benar pemikiran di kepala presiden saat ini,” kata pejabat senior itu.   

Sikap Trump ini pun memicu kekhawatiran perang dagang antara AS dan Tiongkok. Salah satu efeknya adalah anjloknya harga minyak mentah dunia pada penutupan perdangangan 4 Mei di bawah US$ 20 per barel. Selain itu, soal rencana default utang juga dikhawatirkan banyak pihak akan semakin memperburuk kondisi perekonomian AS.

(Baca: Corona dan Empat Risiko Lain Mengancam Kejatuhan Ekonomi Global)

Jumlah Utang AS ke Tiongkok

Tiongkok memang menjadi salah satu kreditur terbesar bagi pemerintah AS. Data The Balance menyatakan, Tiongkok memegang treasury AS sebesar US$ 1,09 triliun per Februari 2020. Angka ini lebih 15% dari keseluruhan treasury AS yang dipegang negara asing sebesar US$ 7,06 triliun.

Tiongkok berada di urutan kedua pemegang surat utang AS di antara negara-negara lain. Di bawah Jepang yang memegang US$ 1,27 triliun. Sementara di bawah Tiongkok ada Inggris (US$ 403,4 miliar), Brazil (US$ 285,9 miliar), Irlandia (US$ 282,7 miliar), Luksemburg (US$ 260,8 miliar), dan Swiss (US$ 243,7 miliar).

Jumlah treasury yang dipegang Tiongkok sudah berkurang sejak puncaknya pada 2011, yakni sebesar US$ 1,3 triliun. Keputusan Tiongkok melepas obligasi AS salah satunya karena berupaya mempertahankan mata uang yuan. Begitupun untuk membuat yuan bertransisi ke mata uang global.

Meskipun begitu, seperti analisis The Balance, strategi Tiongkok membeli banyak obligasi AS adalah untuk membantu meningkatkan perekonomiannya. Sebab permintaan obligasi berdenominasi dolar meningkatkan nilai dolar ketimbang yuan. Maka, eskpor Tiongkok lebih murah ketimbang barang buatan AS dan meningkatkan penjualannya.

Posisi Tiongkok sebagai salah satu kreditur utama luar negeri AS membuatnya mendapat keleluasaan politik. Jika ia melepas obligasinya, maka akan menaikkan suku bunga dan memperlambat pertumbuhan perekonomian negara Paman Sam.  

Pelepasan obligasi AS oleh Tiongkok sekaligus bahkan akan membuat permintaan terhadap dolar terjerembab. Hal ini akan berdampak kepada pasar internasional lebih buruk daripada krisis keuangan yang terjadi pada 2008. Ekonomi Tiongkok pun akan merana seperti halnya negara lain. Maka, kemungkinan kecil Tiongkok akan melakukannya.    

(Baca: Perang Dagang AS-Tiongkok Kembali Memanas, Harga Minyak Anjlok Lagi)

Donaldt Trump ancam tak bayar utang ke Tiongkok HEALTH-CORONAVIRUS/USA (ANTARA FOTO/REUTERS/Tom Brenner/aww/cf)

Apa Akibatnya Jika AS Membatalkan Utang ke Tiongkok?

Masalahnya, dalam hal ini adalah AS yang ingin menghentikan pembayaran utang ke Tiongkok. Kolumnis Reuters John Foley dalam ulasannya menyebut rencana Trump setara dengan perang nuklir. Karena jika dilakukan bisa menyebabkan status dolar sebagai mata uang cadangan kacau, merusak pasar dunia, dan memperlambat jalannya penanganan pandemi karena ekonomi semakin tersuruk.

Seluruh kengerian itu terjadi, kata Foley, lantaran tak ada cara membatalkan utang ke Tiongkok selain dengan mendefault keseluruhan obligasi luar negeri AS. Departemen Keuangan AS tak bisa memetakan satu per satu debitur Tiongkok yang berasal dari pelbagai latar belakang, mulai dari pemerintah, individu, sampai perusahaan yang terkoneksi dengan Beijing.

Apalagi, kata Foley, Tiongkok membeli obligasi AS melalui banyak perantara yang berada di luar negeri. Kemungkinan buruk yang terjadi adalah penggagalan pembayaran utang akan menghancurkan pasar treasury senilai total US$ 18 triliun. Suku bunga AS pun akan melonjak dan menghancurkan perekonomian global. Lepas dari itu, default dilarang oleh konstitusi AS.

Meskipun begitu, Foley menilai Trump masih sangat mungkin melakukan rencananya. Kondisi covid-19 bisa memenuhi alasan memaksa bagi Trump menggunakan Pakta Darurat Ekonomi Internasional AS. Peraturan yang dibuat pada 1977 ini pernah digunakan Jimy Carter untuk membekukan aset Iran pada 1979 dan Obama ke Venezuela.

Melalui peraturan itu, kata Foley, Trump dapat menebang pilih pemegang obligasi yang berhubungan dengan Tiongkok saja. Ia pun bisa menentukan besaran utang yang tak perlu dibayar. Bahkan bisa membekukan aset mereka di AS. Sehingga ia bisa berdalih tak mendefault seluruh utang luar negeri AS. Karena pemegang utang lainnya masih dibayar.

Langkah ini, menurut Foley, tak akan sepenuhnya efektif. Namun dengan melakukannya Trump bisa mengelola calon pemilihnya dengan menggunakan Tiongkok sebagai sasaran tembak.

“Memakzulkan utang ke Tiongkok tidak bijaksana, tapi menjadi satu hal yang dekat dengan kenyataan,” kata Foley.

(Baca: Risiko di Balik Curi Start RI Berburu Utang Global di Tengah Pandemi)