Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO mengestimasi, 21 juta orang terjebak dalam kerja paksa, termasuk di kapal-kapal penangkapan ikan. Estimasi Itu dibuat ILO sekitar tujuh tahun lalu atau pada 2013.
Kerja paksa di atas kapal memang bukan cerita baru. Pengakuan 14 anak buah kapal asal Indonesia tentang perlakuan buruk di kapal ikan Tiongkok mengingatkan bahwa praktik buruk di tengah laut masih terus terjadi. Lantas, apa yang menyebabkan fenomena ini berkembang?
Mengutip laporan ILO bertajuk “Caught at Sea, Forced Labour and Trafficking in Fisheries” yang dirilis pada 2013, fenomena ini berkembang sebagai buntut dari permintaan ikan yang terus menanjak, sedangkan stok ikan terus turun imbas penangkapan ikan besar-besaran dan maraknya penangkapan ikan secara ilegal.
(Baca: Menteri Susi Klaim Stok Ikan Melimpah karena Penenggelaman Kapal Asing)
Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian atau FAO, stok ikan yang secara biologis berkelanjutan menunjukkan tren penurunan dari 90% pada 1974 menjadi 66,9% pada 2015. Sebaliknya, persentase stok ikan yang berada di level tidak berkelanjutan secara biologis naik dari 10% pada 1974 menjadi 33,1% pada 2015, dengan kenaikan terbesar terjadi pada era 1970-1980-an.
Akibat penurunan stok, operator perikanan skala kecil maupun industri harus pergi lebih jauh ke laut untuk memperoleh tangkapan yang besar, tak bisa hanya di pesisir. Persoalannya, penangkapan ikan jarak jauh membutuhkan infrastruktur yang lebih canggih.
Kondisi ini membuat nelayan yang sebelumnya bekerja secara mandiri di kapal kecil bergeser menjadi awak di kapal-kapal yang lebih besar. Lebih jauh, kebutuhan akan pekerja yang mau berada di laut dalam waktu panjang meningkat.
Di tengah kebutuhan ini, pekerjaan di bidang perikanan menurun di negara-negara pemodal, terutama Eropa, Amerika Utara, dan Jepang. Berbanding terbalik, jumlah nelayan membesar di negara berkembang Asia dan banyak di antaranya bekerja di kapal-kapal asing sebagai buruh migran.
Kondisi ini juga membuat kebutuhan akan tenaga murah meningkat. Ini sekaligus menjelaskan alasan penggunaan buruh migran dari negara berkembang Asia. ILO memaparkan, penangkapan ikan jarak jauh adalah pekerjaan padat karya. Porsi upah buruh dalam biaya operasi bisa berkisar 30-40%.
Dengan mempekerjakan buruh migran berupah kecil berarti biaya operasi bisa dipangkas, yang artinya margin untung yang diperoleh operator membesar dan harga ikan tangkapannya lebih kompetitif di pasar.
Mengutip artikel dalam situs lembaga non-profit di bidang kelestarian laut, Global Sea Shepherd, pada 2018 lalu: “Seiring kapal yang harus berada di laut lebih lama untuk menangkap ikan yang semakin sedikit, biaya tetap seperti bahan bakar dan alat penangkap ikan tidak bisa dinegosiasikan, konsekuensinya biaya pekerja selalu jadi yang dipangkas."
Di sisi lain, ILO menyatakan, kompetisi ketat kerap membuat keselamatan para nelayan dikesampingkan. Sedangkan operasi penangkapan ikan transnasional yang semakin canggih dan terorganisir membuat nelayan yang terjebak berada dalam posisi lemah.
Pada 2011, Departemen Obat-obatan dan Kriminal Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNODC, membuat studi yang menemukan tindakan kriminal yang berulang dan terorganisir oleh operator perikanan transnasional. Operator transnasional ini menggunakan yurisdiksi rahasia dan mendaftarkan kapal mereka dalam pendaftaran internasional yang terbuka untuk menghindari hukum.
Nelayan yang bekerja di kapal-kapal tersebut memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki proteksi dari risiko eksploitasi. Global Sea Shepherd menulis, penangkapan ikan skala industri yang ilegal hampir selalu terkait dengan kejahatan perikanan. Seringkali, kejahatan tersebut termasuk penyiksaan yang mengerikan terhadap pekerja.
Sederet Negara dengan Industri Perikanan yang Rentan Perbudakan
Pada 2018, yayasan non-profit asal Australia Walk Free Foundation membuat daftar 20 negara perikanan berdasarkan risikonya terhadap perbudakan modern. Ke-20 negara ini mewakili 80% dari tangkapan ikan dunia.
Yayasan tersebut menempatkan Tiongkok, Jepang, Rusia, Spanyol, Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand dalam kategori high risk alias berisiko tinggi. Ini lantaran tingginya proporsi tangkapan yang diambil dari luar perairan mereka dibandingkan dengan rata-rata negara perikanan lainnya. Selain itu, besarnya tangkapan yang tidak dilaporkan dan tingginya aktivitas perikanan yang merusak.
Sedangkan Indonesia, India, Malaysia, Chile, Meksiko, Maroko, Peru, Vietnam, dan Filipina masuk dalam kategori medium risk atau risiko menengah. Negara-negara ini cenderung menangkap ikan di perairannya sendiri, memiliki level yang rendah dalam hal penangkapan yang merusak dan nilai tangkapan, rendahnya produk domestik bruto, dan tingginya tangkapan yang tidak dilaporkan.
Karakteristik tersebut membuat negara-negara ini rentan terhadap aktivitas perbudakan di dalam industrinya sendiri. Selain itu, menjadi asal negara nelayan yang jadi korban perbudakan di kapal-kapal berbendera asing di perairannya sendiri. Kondisi ini tergambar dalam laporan pemerintah Amerika Serikat yang bertajuk “2019 Trafficking in Persons Report: Indonesia”.
Berikut potongan laporan tersebut:
Nelayan Indonesia yang bekerja di kapal-kapal ikan Taiwan, Thailand, Malaysia, dan Filipina yang beroperasi di perairan Indonesia, Thailand, Sri Lanka, Mauritian, dan India melaporkan kapten kapal atas tindakan penyiksaan, kerja paksa, gaji yang tak dibayarkan, dan dalam beberapa kasus, pembunuhan.
Puluhan agen tenaga kerja di Indonesia, Myanmar, dan Thailand merekrut nelayan, membuatkan identitas palsu, dokumen izin kerja, dan memaksa mereka untuk menangkap ikan dengan waktu kerja yang panjang untuk upah yang kecil bahkan tidak dibayar, sambil menerima siksaan fisik yang berat.
Kapten dan kru kapal melarang nelayan untuk meninggalkan kapal dan melaporkan siksaan yang diterimanya dengan ancaman identitas palsu mereka akan dibuka kepada otoritas atau mereka akan ditahan dalam penjara buatan di darat.
Lebih dari 7.000 nelayan Indonesia keluar masuk dari kapal asing di pelabuhan di Cape Town, Afrika Selatan setiap tahunnya dan melaporkan telah bekerja di lingkungan yang mengerikan, terutama di kapal-kapal yang dimiliki penduduk Taiwan, Korea, dan Jepang.
Perbudakan Modern di Perairan Indonesia
Kasus perbudakan modern di wilayah Indonesia terbongkar beberapa tahun lalu, berkat laporan investigasi dari media asing Associated Press. Pada periode April hingga September 2015, lebih dari 2.000 buruh migran asing diselamatkan dari Benjina, Kepulauan Aru, Maluku, setelah dirilisnya laporan Associated Press (AP) tentang perbudakan yang terjadi di lokasi tersebut.
Ribuan buruh migran berkebangsaan Myanmar, Kamboja, Laos, dan Thailand tersebut bekerja untuk operator perikanan Thailand-Indonesia, dan operator lainnya di pulau tersebut. Pemerintah Indonesia melakukan langkah penyelamatan setelah para awak kapal membenarkan laporan AP, termasuk video delapan orang yang dikunci dalam tahanan dan pemakaman para budak.
(Baca: Soroti Dugaan Perbudakan ABK Indonesia, Susi Angkat Kasus Benjina)
Dalam video AP, tampak buruh migran ditahan dalam ruangan-ruangan berjeruji besi. Selain itu, terdapat pemakaman dengan nisan-nisan yang bertuliskan nama Thailand. Namun, sumber menyebut nama yang tertulis merupakan nama dari identitas palsu mereka.
Beberapa buruh migran yang diwawancara AP menceritakan bahwa mereka ditipu dan diselundupkan ke Indonesia dari Thailand dengan identitas palsu, bertahun-tahun lalu. Salah seorang di antaranya terjebak selama lebih dari 20 tahun dan mengaku dipukuli hingga babak belur saat meminta untuk pulang. Ia juga pernah dipenjara lantaran tertidur di tengah jam kerja yang panjang.
Dari hasil penelusuran AP, hasil tangkapan ikan dibawa ke Thailand untuk kemudian dikirim ke berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, dan menjadi rantai pasok untuk pusat perbelanjaan besar, restoran, dan perusahaan makanan olahan. Laporan ini menjadi sorotan dunia, bahkan memunculkan seruan boikot.
Merespons kondisi ini, Presiden Amerika Serikat ketika itu Barrack Obama meneken revisi undang-undang The Tariff Act 1930 guna memperkuat larangan impor lebih lanjut atas produk-produk dari pekerja anak dan budak.
Sebelum direvisi, impor produk tanpa melihat bagaimana produk tersebut diproduksi bisa dilakukan, dengan alasan consumptive demands atau permintaan yang tidak bisa dipenuhi oleh domestik. Revisi menghapus pengecualian tersebut.
Setengah dekade berlalu, Indonesia dinilai masih memiliki titik-titik lemah dalam melawan perdagangan manusia. Lewat laporan “Trafficking in Persons Report: Indonesia”, pemerintah AS menilai pemerintah Indonesia masih belum memenuhi standar minimal untuk mengeliminasi perdagangan manusia, tapi telah melakukan upaya signifikan guna mencapai hal tersebut.
Upaya yang dimaksud yakni pembentukan gugus-gugus tugas khusus guna mengurus soal perdagangan manusia, pembuatan materi sosialisasi guna meningkatkan kesadaran akan hal ini, serta penerbitan regulasi-regulasi anti-perdagangan manusia, termasuk perlindungan untuk pekerja Indonesia yang berada di luar negeri.
“Meski begitu, pemerintah tidak mencapai standar minimum dalam beberapa area kunci. Investigasi, penuntutan, dan penjatuhan hukuman turun,” demikian tertulis. Hal lain yang disorot adalah layanan rehabilitasi yang tidak cukup, alokasi dana untuk koordinasi gugus tugas yang turun dalam tiga tahun, dan adanya ketentuan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Manusia yang tidak konsisten dengan aturan internasional.