Wabah ebola kembali merebak di Republik Demokratik Kongo. Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO melaporkan ada enam kasus terjadi di Wangat, Mbandaka. Dari jumlah itu empat orang meninggal dunia dan dua orang masih dalam perawatan.
Jumlah kasus diperkirakan akan meningkat. “Ini adalah pengingat bahwa Covid-19 bukan satu-satunya ancaman kesehatan yang sedang kita hadapi,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, Senin (1/6).
Wabah ini merupakan kejadian ke-11 yang terjadi di Kongo sejak virus itu pertama kali ditemukan di Afrika pada 1976. Kota Mbandaka dan daerah sekitarnya sempat menjadi lokasi wabah ebola ke-9 pada Mei hingga Juli 2018.
WHO berencana mengirim tim untuk mendukung peningkatan respon. “Mengingat kedekatan wabah baru ini dengan rute transportasi yang sibuk dan negara-negara tetangga yang rentan, kita harus bertindak cepat,” Direktur Regional WHO untuk Afrika Matshidiso Moeti.
(Baca: Pandemi Corona Belum Berakhir, Wabah Ebola Kembali Merebak di Kongo)
Apa Itu Virus Ebola?
Melansir situs Kementerian Kesehatan RI, virus ebola ditemukan pada 1976 dari dua wabah yang terjadi bersamaan. Pertama, di daerah terpencil di Sudan. Lalu, di sebuah desa yang terletak di dekat Sungai Ebola di Republik Demokratik Kongo.
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebab kemunculan virus ini. Namun, berdasarkan beberapa bukti yang ada, virus ini berasal dari kelelawar pemakan buat atau Pteropodidae.
Virus ebola termasuk dalam genus Filovirus. Infeksinya menyebabkan kematian hingga 90%. Wilayah endemisnya ada di Afrika. Selain dua negara yang telah disebutkan, wabah juga sempat terjadi di Gabon, Afrika Selatana, dan Kongo. Wabah terbesar terjadi selama setahun, mulai dari Desember 2014.
(Baca: Kembangkan Vaksin Corona dengan Genexine, Saham Kalbe Farma Jatuh 1,8%)
Apa Gejala Penyakit Ebola?
Gejala awal penyakit ini adalah demam, sakit kepala, nyeri sendi dan otot, lemas, diare, muntah, sakit perut, kurang nafsu makan, dan perdarahan yang tidak biasa. Dalam beberapa kasus, pendarahan dalam dan luar dapat terjadi dalam lima sampai tujuh hari.
Semua yang terinfeksi virus ini menderita kesulitan pembekuan darah. Pendarahan bisa terjadi di selaput mulut, hidung, tenggorokan serta bekas lubang suntikan. Gejala lebih parah lagi adalah muntah darah, batu darak, dan buang air besar darah. Masa inkubasinya antara dua sampai 21 hari.
(Baca: WHO Desak RI Setop Hidroksiklorokuin dan Klorokuin untuk Obati Corona)
Bagaimana Penularan Virus Ebola?
Virus ini menular melalui darah dan cairan tubuh lainnya, termasuk feses, saliva, urine, bekas muntah, dan sperma, dari hewan atau manusia yang terinfeksi ebola. Bahkan virusnya dapat masuk ke tubuh orang lain melalui kulit yang terluka atau membran mukosa yang tak terlindungi, seperti mata, hidung, dan mulut.
Penularannya juga dapat melalui jarum suntik dan infus yang terkontaminasi, serta pelayat yang menyentuh jenazah yang meninggal karena ebola. Binatang pun bisa menjadi pembawa virus.
Virus ini mampu memperbanyak diri di hampir semua sel inang. Kelelawar mampu menularkan virus tersebut.
Tidak seperti manusia, kelelawar kebal terhadap virus-virus tersebut. Daging kelelawar yang menjadi konsumsi manusia pun dapat menularkan virus ebola.
(Baca: WHO Perkirakan Vaksin Corona Tersedia Paling Cepat Akhir 2021)
Apakah Sudah Ada Vaksin Ebola?
Sampai sekarang belum ada vaksin untuk mencegah infeksi penyakit ebola. Pengobatan yang spesifik pun belum ditemukan.
WHO menyebut pengembangan vaksin ebola masih berjalan sampai sekarang. Sebuah eksperimen vaksin menunjukkan hasil positif di Guinea pada 2015. Nama vaksin itu adalah rVSV-ZEBOV, dan telah diuji ke 11.841 orang.
Sebanyak 5.837 orang yang menerima vaksin tersebut, tidak terinfeksi ebola selama 10 hari atau lebih setelahnya. Sebagai pembanding, ada 23 kasus dalam 10 hari terjadi pada orang-orang yang tidak mendapatkan vaksin.
(Baca: Kinerja WHO dalam Sorotan, Apa Perannya selama Pandemi Corona?)
Bagaimana Penanganan Pasien Ebola?
Untuk mendiagnosisnya, pasien harus melakukan tes PCR atau polymerase chain reaction. Pemeriksaan laboratorium ini serupa dengan tes virus corona.
Petugas medis akan mengambil sampel dahak, lendir, atau cairan dari nasofaring (bagian antara hidung dan tenggorokan) dan orofaring (bagian antara mulut dan tenggorokan). Sampel itu kemudian diperiksa di laboratorium untuk mendeteksi material genetik dari sel, bakteri, atau virus.
Setelah hasil tes keluar, pasien yang positif akan masuk ruang isolasi. Ia akan menerima penanganan kesehatan sesuai gejalanya. Misalnya, pemberian obat penurunan panas, transfusi darah, dan pemasangan infus.
Pasien dinyatakan sembuh setelah hasil laboratorium menunjukkan hasil negatif, bebas tanda dan gejala selama tiga hari berturut-turut.
(Baca: Trump Akhiri Hubungan AS dengan WHO di Tengah Pandemi Corona)