Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok berpeluang kembali terjadi di tengah pandemi corona. Hubungan kedua negara mengalami eskalasi lagi setelah Undang-Undang Keamanan Hong Kong disahkan Kongres Rakyat Nasional Tiongkok, Kamis (28/5). Buntutnya sampai ke hubungan dagang kedua negara.
Tiongkok menghentikan impor kedelai dan daging babi dari AS sebagai balasan atas Presiden AS Donald Trump yang memulai proses penghapusan status khusus Hong Kong. Melansir berita Bloomberg Senin (1/6), penghentian impor akan dilakukan perusahaan BUMN Tiongkok, yakni Cofco dan Sinograin. Meskipun begitu, perusahaan swasta masih bisa mengimpor dua produk tersebut dari AS.
Seorang sumber pemerintah Tiongkok bicara kepada Reuters, kemarin (1/6), bila AS tetap melanjutkan proses penghapusan status khusus Hong Kong maka Beijing bisa mensetop seluruh impor produk pertanian Paman Sam.
Tiongkok selama ini memang turut menikmati status khusus Hong Kong dalam Akta Kebijakan AS-Hong Kong yang berlaku sejak 1992. Hong Kong menjadi gerbang utama Tiongkok ke seluruh dunia dan tempat perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan Beijing mengumpulkan uang. Data Bloomberg pada 2019 menyatakan, 12% ekspor Tiongkok pergi ke atau melewati Hong Kong.
(Baca: Balas Trump, Tiongkok Minta BUMN Setop Impor Babi-Kedelai dari AS)
Oleh karena itu, seperti kata Direktur SOAS China Institute Universitas London, membiarkan status khusus Hong Kong dianulir AS sama saja dengan merelakan bom nuklir jatuh di Tiongkok. Begitupun sama saja membiarkan “awal kematian Hong Kong sebagai pusat bisnis.”
Keputusan Tiongkok ini bertentangan dengan perjanjian fase I yang ditandatangani dengan AS pada Januari lalu. Perjanjian ini pun terancam batal. Tiongkok saat itu sepakat untuk membeli barang AS senilai US$ 200 miliar. Termasuk di dalamnya pembelian produk pertanian dan makanan laut senilai US$ 32 miliar.
Untuk mencapai kesepakatan itu, Tiongkok dan AS memasang target setiap tahun. Untuk produk pertanian senilai US$ 12,5 miliar di tahun pertama dan dilanjutkan dengan US$ 19,5 miliar di tahun setelahnya.
Sebelum Tiongkok melancarkan serangan terbaru ini, Pemerintahan Xi Jin Ping memang belum sepenuhnya menaati kesepakatan fase I. Data Departemen Pertanian AS menyatakan Tiongkok hanya mengimpor produk pertanian senilai US$ 3,35 miliar di tiga bulan pertama tahun ini. Angka ini terendah sejak 2007.
Meskipun begitu, sikap Trump juga tak menunjukkan itikad untuk meneruskan komitmen perjanjian fase I. Pada 4 Mei, ia mengancam akan membatalkan seluruh kesepakatan dagang jika Tiongkok tak membeli barang AS senilai US$ 200 miliar. Pada 1 Mei, ia juga mengancam akan menaikkan tarif dagang untuk Tiongkok sebagai bayaran atas penyebaran virus corona. Ia juga menyatakan tak tertarik membahas perjanjian fase II dengan Tiongkok yang direncanakan pada November nanti.
(Baca: Dampak Trump Cabut Status Khusus Hong Kong Bagi Ekonomi AS & Tiongkok)
Dampak ke Perusahaan AS
Perusahaan AS adalah yang terancam rugi jika perang dagang kembali terjadi. Berkaca kepada laporan Bank Federal Reserve New York pada Kamis (28/5) lalu yang dikutip South China Morning Post, perang dagang AS-Tiongkok yang berjalan sejak 2018 telah memangkas nilai pasar perusahaan AS sebesar US$ 1,7 triliun. Peningkatan tarif juga telah membuat ekspansi investasi perusahaan AS terpangkas 0,3 poin persentase hingga akhir 2019 dan terancam turun hingga 1,6 poin persentase tahun ini jika perang dagang terus terjadi.
Hal ini bisa terjadi karena perusahaan-perusahaan AS menanggung semua biaya impor yang lebih tinggi. Sementara biaya ekspor ke Tiongkok menjadi kurang menguntungkan karena tarif naik. Temuan ini bertentangan dengan pernyataan Trump dalam pelbagai kesempatan selama perang dagang, bahwa Tiongkok akan membayar seluruh tarif.
Penelitian dalam laporan ini menyatakan, perusahaan-perusahaan dan konsumen AS menanggung biaya sekitar US$ 40 miliar per tahun akibat peningkatan tarif atas Tiongkok. Sebaliknya, biaya yang mesti ditanggung perusahaan Tiongkok nyaris tak berubah sejak sebelum perang dagang dimulai.
(Baca: Tiongkok Bidik Australia Jadi Musuh Baru Perang Dagang)
Selain itu, penelitian Bank Federal Reserve New York juga menemukan pengumuman perang dagang terkait dengan penurunan harga saham sampai 8,9 persen. Faktor yang memengaruhi penurunan adalah ketidakpastian kebijakan di tengah perang dagang.
Dalam hal ini, perusahaan dengan eskposur ke Tiongkok adalah yang paling terdampak. Perlambatan ekonomi Tiongkok akibat perang dagang mengurangi laba atas investasi yang dilakukan perusahaan AS di Tiongkok.
Laporan ini menyebut sekitar 46% dari 3.000 perusahaan AS terkait dengan Tiongkok melalui ekspor, impor, dan penjualan langsung melalui anak perusahaannya di sana. Rata-rata laba sebesar 2,3% yang mereka dapat selama ini dari hubungan dagang dengan Tiongkok pun terancam menurun jika AS kembali menaikkan tarif saat perang dagang dimulai lagi.
“Diskusi tentang perang dagang seringkali hanya fokus pada ekspor AS dan impor dari Tiongkok, tapi kehilangan paparan lebih jauh dan besar dari perusahaan AS yang memiliki anak perusahaan di Tiongkok,” tulis laporan itu.
(Baca: Trump Tutup Komunikasi dengan Tiongkok, Perang Dagang Makin Rumit)