UU Keamanan Nasional Buatan Tiongkok Ancam Perekonomian Hong Kong
Kepolisian Hong Kong kemarin, Rabu (1/7), menangkap satu orang demonstran yang membawa bendera dan menyerukan kemerdekaan. Langkah penahanan ini merupakan yang pertama kali dilakukan aparat keamanan di bawah undang-undang keamanan nasional baru buatan Tiongkok.
Melalui akun Twitter-nya, kepolisian menunjukkan gambar bendera bertuliskan free Hong Kong berkibar di hadapan seorang laki-laki berbaju hitam. Kepolisian juga menembakkan meriam air untuk membubarkan ribuan massa yang melakukan aksi protes. Para demonstran turun ke jalan untuk memperingati penyerahan kembali Hong Kong dari Inggris kepada Tiongkok 23 tahun lalu.
Kepolisian berpendapat aksi unjuk rasa ini tidak berizin dan melanggar aturan pembatasan berkumpul di tengah pandemi Covid-19. Namun, demonstran tetap melakukan aksi itu sebagai respon atas pemberlakuan undang-undang keamanan nasional tersebut.
Massa aksi memenuhi jalanan dengan meneriakkan slogan "melawan sampai akhir" serta "kemerdekaan untuk Hong Kong". "Saya sangat takut dipenjara, namun demi keadilan, saya harus turun ke jalan hari ini. Saya harus melawan," kata seorang demonstran berusia 35 tahun yang menyebut dirinya sebagai Seth, mengutip dari Reuters.
(Baca: UU Keamanan Hong Kong Diteken Tiongkok, Rupiah Anjlok ke Rp 14.322)
Polisi kemudian menyatakan sebanyak 30 orang demonstran ditangkap. Pemerintah pusat menyebut Hong Kong sebagai bagian tidak terpisahkan dari Tiongkok. Karena itu, seruan untuk merdeka menjadi hal yang dikecam oleh Partai Komunis--partai berkuasa di negara tersebut.
Pemerintah Inggris menyebut pemberlakuan undang-undang keamanan baru merupakan pelanggaran serius terhadap Deklarasi Bersama Tiongkok-Inggris atas Hong Kong. "Kami telah mengkaji isi dari regulasi keamanan nasional ini dengan sangat hati-hati. (Regulasi) itu merupakan pelanggaran yang jelas terhadap otonomi Hong Kong," kata Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab.
Otonomi Hong Kong seharusnya dijamin di bawah aturan “satu negara, dua sistem”. Kesepakatan itu tercantum dalam Deklarasi Bersama Tiongkok-Inggris pada 1984. Kedua pemimpin negara, Perdana Menteri Tiongkok Zhao Ziyang dan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher, yang menandatanganinya.
(Baca: Harga Saham Tencent Lampaui Alibaba, Kekayaan Jack Ma Digeser Bos PUBG)
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen pada Mei menjadi pemimpin pertama di dunia yang menjanjikan langkah-langkah untuk membantu orang-orang Hong Kong yang melarikan diri akibat pengetatan kendali oleh China. Sekitar 200 warga Hong Kong telah melarikan diri ke Taiwan sejak demonstrasi prodemokrasi dimulai pada tahun lalu.
Kepala Dewan Urusan Pembuatan Kebijakan Taiwan untuk Tiongkok Daratan, Chen Ming-tong, mengatakan Beijing berusaha menargetkan orang-orang di negara lain dengan hukum. "(Undang-undang) ini tidak hanya menargetkan penduduk di Hong Kong. Ini juga merupakan perintah yang dikeluarkan oleh Kekaisaran Langit (Tiongkok) untuk orang-orang di seluruh dunia," katanya.
Di tengah kebebasan dan demokrasi yang terancam, lantas bagaimana dampak undang-undang itu ke perekonomian Hong Kong?
Hong Kong Tak Lagi Jadi Pusat Keuangan Dunia?
Nikkei menuliskan dengan undang-undang keamanan baru, Hong Kong dapat mengucapkan selamat tinggal dengan statusnya sebagai kawasan ekonomi terbebas nomor dua di dunia. Telah lama kota ini menerapkan pelabuhan bebas bea, kemudahan berbisnis, aliran modal yang tidak terkekang, dan aturan hukum yang transparan.
Bertambahnya kontrol Tiongkok di sana akan membuat Hong Kong sulit untuk bebas mengatur perekonomiannya. Padahal, sejak tahun lalu ekonominya sudah terpuruk karena gelombang aksi protes kelompok pro-demokrasi. Kondisi ini belum ditambah dengan pandemi corona yang banyak mematikan aktivitas bisnis.
Beberapa analis mengatakan, melansir dari CNBC, Beijing saat ini membutuhkan perbaikan cepat untuk memperbaiki citranya di dalam negeri. Ekonominya sedang terpuruk dan muncul kritik terkait cara pemerintah menangani virus corona. Tiongkok melakukan kontrol atas Hong Kong untuk mengalihkan perhatian dari masalah lain.
(Baca: Konflik Perbatasan Berlanjut, Hacker Tiongkok Targetkan Serang India)
Sebenarnya, Tiongkok tak membutuhkan Hong Kong seperti dulu. Pada 1990an, lebih seperempat ekonomi negara itu disumbang dari Hong Kong. Tapi sekarang berkurang menjadi 3% saja. Kota-kota besar, seperti Shenzhen, Beijing, Shanghai, Chongqing, dan Guangzhou mengalami pertumbuhan yang eksplosif dalam dua dekade terakhir.
Tapi Cina masih membutuhkan Hong Kong. Pasalnya, kota itu menjadi salah satu pusat keuangan terkemuka di Asia dan status ini sulit dilepaskan. Posisinya strategis menghubungkan kawasan Timur dan Barat.
Jadi, meskipun kontribusinya minim, Hong Kong tetap menjadi saluran bagi Tiongkok untuk mendapatkan uang dari negara Barat. Kota ini juga kerap kali membantu bisnis di kawasan daratan (Cina) untuk meminjam uang, terutama melalui pasar uang.
Beberapa pakar mengatakan keunggulan terbesar kota ini adalah posisinya sebagai pusat pendanaan lepas pantai utama untuk dolar AS. Dolar Hong Kong telah dipatok ke greenback sejak 1983. Inilah kunci untuk memastikan stabilitas keuangan. Investor biasanya merasa aman meninggalkan uang tunai mereka di Hong Kong dan bertransaksi dalam mata uang lokal Hong Kong, karena mudah dikonversi ke dolar AS.
(Baca: Trump Kembali Ancam Putus Hubungan dengan Tiongkok)
Karena itu, ancaman AS untuk melepas hak istimewa tersebut akan memicu efek domino. Modal asing akan keluar dan meruntuhkan mata uang kota tersebut sehingga investor dapat rugi besar.
Pemerintahan Trump sudah mengecam undang-undang baru ini dan akan segera melakukan tindakan. Menteri Luar Negeri Mike Pompeo mengatakan bakal membatasi pembuatan visa baru untuk para pejabat Tiongkok yang bertanggung jawab atas masalah di Hong Kong.
AS juga dikabarkan akan membatasi impor teknologi sensitif ke perusahaan-perusahaan yang berbasis di Hong Kong. Kemungkinan besar Singapura nantinya yang akan menikmati pembatasan tersebut karena dianggap tidak ternoda hukum keamanan nasional Tiongkok.