Lebih dari 170 organisasi nirlaba menyerukan agar perusahaan Johnson & Johnson berhenti menjual bedak bayi berbasis talc (talek) di seluruh dunia kemarin, Rabu (8/7). Kelompok ini khawatir dengan risiko kesehatan bedak tersebut karena mengandung asbes yang dapat memicu kanker.
Dalam pernyataan tertulisnya, Direktur Eksekutif Black Women for Wellness mengatakan pemasaran produk itu sering kali ditujukan kepada kelompok minoritas di Amerika Serikat, termasuk warga kulit hitam. “Hal ini bertentangan dengan pernyataan yang dikeluarkan perusahaan pada Juni lalu tentang komitmen untuk memerangi ketidaksetaraan ras,” tulisnya, dikutip dari Reuters.
Kelompok yang terdiri dari lembaga pendidikan dan lembaga nirlaba, seperti Greenpeace, itu menginginkan Johnson & Johnson untuk menarik produk bedak tersebut di Amerika Utara. Perusahaan pada Mei 2020 telah mengatakan akan menghentikan penjualan bedak bayi di AS dan Kanada. Namun, J&J akan terus menjual produk berbasis talc di pasar lain di seluruh dunia.
(Baca: Uni Eropa Baru Buka Pintu untuk Warga 15 Negara)
Perusahaan yang berdiri sejak 19886 itu akan menawarkan produk bedak taburnya di wilayah yang permintaannya lebih tinggi. “Puluhan tahun studi ilmiah independen oleh para ahli di seluruh dunia mendukung keamanan bedak bayi Johnson,” kata J&J dalam sebuah pernyataan kemarin.
Yahoo!Finance menuliskan kinerja Johnson & Johnson selama beberapa tahun terakhir terus meningkat. Laporan triwulanannya kerap melebihi ekspektasi. Salah satu pembuat produk kesehatan terbesar di dunia ini mencatat labanya pada kuartal pertama 2020 sebesar US$ 2,30 per saham atau lebih 13,30% dari prediksi. Tampaknya kasus bedak bayi tak mempengaruhi pendapatan perusahaan.
Pangsa pasarnya secara global pun tak banyak berubah. Bedak bayi J&J masih menjadi pemain utama pasar dunia, bersama dengan Procter & Gambler dan Pigeon.
(Baca: Trump Berencana Blokir, Tiktok: CEO Kami Berasal dari AS)
Awal Kasus Bedak Bayi Johnson & Johnson
Selama beberapa dekade, bedak tabur bayi dibuat memakai bahan dasar talc, mineral yang dikenal karena kelembutan teksturnya. Johnson & Johnson menjual produk ini dalam botol putihnya yang ikonik dan salah satu aroma yang, menurut The New York Times, paling dikenal di dunia.
Pada 1980, kelompok pelindung konsumen mengemukakan kekahawatiran tentang jejak asbes dalam bedak tersebut. Perusahaan lalu mengembangkan material alternatif, yaitu tepung jagung.
Keamanan bedak bayi J&J kemudian diawasi ketat oleh pemerintah AS setelah muncul laporan investigasi oleh Reuters pada 2018. Laporan itu menyebut perusahaan selama beberapa dekade mengetahui adanya kandungan asbes tersembunyi pada bedaknya.
Sebanyak 22 wanita menuduh produk bedak itu menyebabkan mereka menderita kanker ovarium. Dari jumlah itu, enam telah meninggal. Mereka terkena kanker setelah memakai bedak bayi selama J&J selama beberapa dekade.
(Baca: PBB Umumkan Amerika Serikat Resmi Keluar dari WHO 6 Juli 2021)
Pengacara para perempuan itu mengatakan perusahaan tahu bedaknya terkontaminasi asbes sejak 1970an tapi gagal memperingatkan konsumen tentang risikonya. Banyak penelitian menyebut asbes sebagai bahan karsinogen atau pemicu kanker. Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan asbes dapat menyebabkan mesothelioma dan kanker paru-paru, laring, dan ovarium.
Atas kasus tersebut, pengadilan di negara bagian Missouri, AS, memerintahkan J&J membayar US$ 4,7 miliar kepada 22 wanita tersebut. Awalnya, juri memutuskan kompensasi US$ 550 juta, tapi ditambah US$ 4,1 miliar sebagai ganti rugi. Sampai dengan akhir Maret kemarin, perusahaan masih bertarung dengan 19.400 kasus hukum lainnya yang terkait produk bedak bayi.
Apakah Bedak Talc Aman?
Selama bertahun-tahun muncul kekhawatiran memakai bedak talek, terutama pada alat kelamin perempuan, dapat meningkatkan risiko kanker ovarium. Namun, sampai sekarang belum ada bukti ilmiah yang akurat.
Badan Internasional untuk Penelitian Kanker, melansir dari BBC, mengklasifikasikan bedak yang digunakan pada alat kelamin mungkin karsinogenik karena buktinya yang beragam. Bedak mineral dalam bentuk aslinya memang mengandung asbes. Tapi bedak bebas asbes telah digunakan dalam bedak bayi dan kosmetik lainnya sejak 1970an.
(Baca: Kekecewaan Bill Gates ke Media Sosial & Upayanya Temukan Vaksin Corona)
Studi lain berpendapat tidak ada hubungan sama sekali antara bedak dan kanker. Selain itu, belum ada bukti tentang volume bedak yang dipakai dapat meningkatkan risiko kanker, seperti merokok.
Dengan lemahnya fakta lemah tersebut badan amal Ovacome mengatakan bedak talek memang meningkatkan risiko kanker ovarium. Tapi peningkatannya sangat kecil karena banyak faktor lainnya dapat menjadi pemicu, yaitu genetik dan lingkungan.