Maskapai penerbangan asal Malaysia AirAsia Group Bhd mendapatkan predikat "meragukan" dari Ernst & Young. Alasannya, auditor publik ini menilai kewajiban perusahaan yang menggunung, diiringi dengan kinerja yang buruk membuat kinerja ke depan dalam ketidakpastian.
Mengutip pengumuman di Bursa Malaysia, Selasa (7/7), Ernst & Young menekankan adanya ketidakpastian terkait dengan kelangsungan usaha AirAsia Group, berdasarkan hasil audit untuk tahun buku 2019. Selain itu, opini meragukan juga disematkan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi saat ini, yang masih dalam suasana pandemi virus corona atau Covid-19.
"Kondisi pandemi corona yang mempengaruhi permintaan perjalanan udara, akan berpengaruh signifikan pada kinerja dan arus kas AirAsia Group. Kinerja keuangan dan situasi saat ini menimbulkan keraguan yang signifikan pada kemampuan perusahaan untuk melanjutkan kelangsungan usaha," tulis Ernst & Young, dalam pernyataan resminya.
Ernst & Young juga tidak mengubah pandangannya terkait kelangsungan usaha AirAsia Group, meski sudah ada tanda-tanda perbaikan operasional.
Seperti diketahui, pemerintah Malaysia telah mencabut pembatasan secara bertahap terhadap perjalanan udara. Selain itu, penerbangan antar negara dan kegiatan pariwisata di negara-negara tempat AirAsia Group dan unit-unitnya sudah mulai berjalan.
Mengutip laporan keuangan yang dipublikasikan di Bursa Malaysia, kinerja AirAsia Group sepanjang 2019 memang tercatat negatif. Per 31 Desember 2019, perusahaan membukukan rugi bersih sebesar 283 juta ringgit atau sekitar Rp 956,3 miliar (asumsi kurs Rp 3.379,19 per ringgit). Selain itu, perusahaan juga menanggung kewajiban lancar sebesar 7,13 miliar ringgit, padahal jumlah aset lancar yang dimiliki hanya senilai 5,29 miliar.
Kinerja AirAsia Group makin parah memasuki 2020, karena adanya pandemi corona. Tercatat pada kuartal I 2020, perusahaan membukukan rugi bersih sebesar 953,32 juta ringgit atau sekitar Rp 3,2 triliun.
(Baca: Beroperasi Lagi saat Pandemi, AirAsia Sudah Gaet 41 Ribu Penumpang)
Kinerja buruk sepanjang tiga bulan pertama tahun ini, disebabkan oleh penurunan pendapatan yang signifikan, dari sebelumnya 2,72 miliar ringgit pada kuartal I 2019 menjadi 2,31 miliar ringgit, atau turun 15,26%.
Di saat bersamaan, AirAsia Group mencatatkan kenaikan beban operasional, terutama pada akun perawatan pesawat atau maintenance & overhaul. Pada kuartal I 2020, pengeluaran perusahaan untuk akun ini tercatat mencapai 429,17 juta ringgit, naik 53,55% dibandingkan kuartal I 2019. Selain itu, perusahaan juga mencatatkan peningkatan yang signifikan pada beban karyawan, dan depresiasi aset.
Mengutip South China Morning Post, Rabu (8/7), Chief Executive Officer (CEO) AirAsia Group Tony Fernandes mengatakan, kondisi yang dialami perusahaan saat ini merupakan yang terburuk sejak berdiri 2001 silam.
Ia mengatakan, perusahaan sedang dalam pembicaraan untuk membentuk usaha patungan dan kolaborasi yang dapat menghasilkan investasi tambahan, dan juga telah mengajukan pinjaman bank. Selain itu, ada juga beberapa opsi yang tengah dibicarakan dalam internal AirAsia Group untuk meningkatkan modal.
Analis UOB Kay Hian K. Ajith mengungkapkan, AirAsia Group membutuhkan dana segar setidaknya 2 miliar ringgit untuk tetap beroperasi. Pada Mei 2020 diketahui perusahaan tengah mencari pinjaman bank sebesar 1 miliar ringgit, meski belum ada kabar mengenai kelanjutan pinjaman ini.
"Tidak ada banyak pilihan, dan yang terbaik adalah pemerintah Malaysia masuk menyuntikkan dana, dengan membeli saham perusahaan," kata Ajith, dilansir dari South China Morning Post.
(Baca: Tak PHK Karyawan, AirAsia Lebih Pilih Efisiensi dan Negosiasi Utang)