Kekurangan Tenaga Kerja, Produksi Sawit Malaysia Terancam Anjlok 25%

ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/NZ.
Petani memetik tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. Produksi minyak sawit Malaysia terancam turun 25% akibat kekurangan tenaga kerja.
Penulis: Ekarina
20/7/2020, 16.08 WIB

Malaysia berpotensi kehilangan produksi minyak sawit hingga  25%. Asosiasi Minyak Sawit Malaysia (MPOA) mengatakan, produksi sawit negaranya terancam menurun lantaran adanya kebijakan pemerintah Negeri Jiran yang membekukan sementara perekrutan pekerja asing hingga Desember 2020 akibat pandemi corona.

“Sebelum Covid-19, kami sudah kekurangan 36.000 pekerja. (Kekurangan) ini telah mengakibatkan kami menyadari kehilangan potensi produksi 10% -25%, "kata Chief Executive Officer MPOA, Nageeb Wahab dalam sebuah pernyataan dikutip dari Reuters, Senin (20/7).

Malaysia yang saat ini tercatat sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar kedua di dunia setelah Indonesia. Namun, Malaysia masih memiliki ketergantungan tenaga kerja dari negara tetangganya seperti Indonesia dan Bangladesh, yang menyumbang 84% dari pekerja perkebunan di sana.

Ribuan orang telah meninggalkan perkebunan kelapa sawit Malaysia ketika terdi pembatasan atau lockdown. Alhasil, MPOA mengatakan hingga kini mereka kesulitan memperoleh tenaga kerja pengganti. 

Kelangkaan pekerja berdampak terhadap tertundannya panen buah sawit dan produksi minyak, terutama menjelang musim puncak panen yang dimulai pada September 2020.

Nageeb mengatakan, perusahaan perkebunan sawit mulai aktif merekrut penduduk setempat untuk mendukung kebijakan pemerintah. Namun demikian, mayoritas penduduk asli yang tertarik dengan pekerjaan ini karena dianggap kotor, berbahaya, sulit dan merendahkan martabat.

"Jika ini (upaya rekrutmen lokal) gagal, kami akan meminta pemerintah untuk membantu kami," ujarya.

Wakil Menteri Industri Perkebunan dan Komoditas, Willie Mongin mengatakan kementerian sedang dalam pembicaraan dengan kelompok-kelompok industri untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan.

"Kami akan membahas dan merumuskan strategi untuk mengatasi masalah kekurangan tenaga kerja," katanya pada kesempatan yang sama. 

Di sisi lain, pademi corona  juga menyebabkan permintaan sawit dunia lesu, termasuk untuk produk minyak sawit asal Indonesia.  Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) mencatat penurunan ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan produk sawait turunannya pada April 2020 mencapai 2,6 juta ton, turun 2,82% dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 2,72 juta ton.

Angka ini juga anjlok hingga 12% dalam empat bulan pertama 2020. "Ekspor minyak sawit pada bulan April dibandingkan dengan bulan Maret 2020 menurun 77 ribu ton, 44 ribu ton dari refined palm oil dan 33 ribu ton dari CPO," kata Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono dalam siaran pers yang dikutip Selasa (9/6).

Secara kumulatif, ekspor CPO dan turunannya sepanjang Januari-April 2020 sebesar 10,3 juta ton. Angka tersebut lebih rendah 12,1% dibandingkan ekspor Januari April 2019. Namun secara nilai, ekspor Januari- April tahun ini 9,4% lebih tinggi, yaitu US$ 6,96 miliar dibandingkan tahun lalu yang sebesar US$ 6,37 miliar.

Produksi CPO Indonesia 

Gapki juga mencatat, produksi CPO dan turunannya mencapai 15,03 juta ton sejak Januari hingga April 2020. Produksi CPO lebih rendah 12% dibandingkan periode Januari-April 2019 sebesar 17,2 juta ton. Mukti mengatakan, produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu merupakan efek bawaan dari kemarau panjang tahun lalu.

Oleh karena itu, dia berharap, peningkatan produksi pada April bisa menjadi titik awal fase kenaikan produksi musiman tahun ini. Sedangkan terkait konsumsi dalam negeri, Gapki mencatat pada Januari-April 2020 konsumsi mencapai 5,93 juta ton, lebih tinggi 6,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Hal ini disebabkan oleh adanya implementasi B30. Secara bulanan, konsumsi dalam negeri sebesar 1,4 juta ton atau lebih rendah 6,5% dari Maret sebesar 1,49 juta ton.

Penurunan secara bulanan disebabkan oleh menurunnya konsumsi biodiesel sebanyak 113 ribu ton akibat berkurangnya mobilitas masyarakat. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diduga menyebabkan konsumsi untuk keperluan pangan naik 4 ribu ton secara bulanan menjadi 725 ribu ton.

Sedangkan, konsumsi oleokimia naik 11 ribu ton secara bulanan, menjadi 115 ribu ton yang seiring meningkatnya pemakaian hand sanitizer dan sabun.

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas menyumbang pundi devisa terbesar bagi negara. Selain itu, industri kelapa sawit juga merupakan industri padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja di Indonesia seperti yang ditampilkan dalam databoks berikut: