Perusahaan retail Jepang Uniqlo Co Ltd. mengumumkan penutupan sembilan toko di Korea Selatan pada bulan ini. Kebijakan ini ditempuh lantaran penjualan perseroan terus merosot tajam akibat pandemi corona serta meningkatnya sengketa perdagangan antara Korsel dan Jepang yang dimulai sejak Juli tahun lalu.
Beberapa gerai yang akan ditutup saat ini antara lain berlokasi di Gangnam dan Seocho, dekat pusat kota Seoul. Saat ini, jumlah gerai Uniqlo di Korea Selatan berjumlah 174 unit, lebih rendah dibandingkan per akhir Agustus 2019 sebanyak 187 gerai.
Penjualan Uniqlo di Korea Selatan terus tertekan karena banyak konsumen Korea Selatan memboikot produk Jepang sejak Juli tahun lalu. Aksi ini merupakan bentuk protes atas pembatasan ekspor Jepang terhadap beberapa produk chip yang dibutuhkan industri semikonduktor Negeri Ginseng, seperti Samsung dan SK Hynix.
Ketegangan hubungan bilateral kedua negara kian bertambah, setelah pengadilan tinggiKorea Selatan memerintahkan perusahaan Jepang untuk memberikan kompensasi kepada korban kerja paksa Jepang pada 2018. Pengekangan Tokyo selanjutnya terhadap Seoul dinilai semakin memperburuk situasi.
Manajemen Uniqlo menepis kabar penutupan yang lebih besar di negara tersebut. "Kami tidak berencana melakukam penutupan lebih lanjut. Pada September, kami berencana untuk membuka toko baru," kata seorang pejabat perusahaan dikutip dari kantor berita Yonhap, Senin (3/8).
Tetapi, GU "saudara" dari merek Uniqlo, telah memutuskan untuk menarik diri sepenuhnya dari Korea Selatan.
Boikot Produk Jepang
Reaksi keras konsumen Korea Selatan yang mulai menghindari produk Jepang, dalam beberapa kasus berdampak cukup parah terhadap keuangan perusahaan Negeri Sakura.
Dikutip dari Nikkei Asian Review, CEO Score perusahaan riset yang berbasis di Seoul, mengungkapkan laba operasi gabungan dari 31 perusahaan konsumen Jepang di Korea Selatan anjlok 71,3% menjadi 145,9 miliar won (US$ 121 juta) pada 2019.
Sementara itu, pendapatan gabungan perusahaan turun 6,9% menjadi 7,9 triliun won selama periode yang sama.
Dampak terbesar lain akibat boikot ini adanya alih konsumsi atau produksi barang-barang Jepang oleh produsen Korea, bahkan jika merek-merek tersebut telah mulai memengaruhi loyalitas konsumen.
"Politik dan konsumsi kebutuhan sehari-hari berbeda, bir kami telah menjadi bir impor terlaris di Korea Selatan selama delapan tahun berturut-turut hingga 2018, kini mulai menurun drastis," kata CEO Asahi Group Holdings Akiyoshi Koji kepada Nikkei Asian Review , Desember lalu.
Lotte Asahi dinilai sebagai salah satu perusahaan yang terdampak cukup parah . Penjualan perusahaan ini turun 50,1% menjadi 62,3 miliar won pada 2019, sedangkan unit lokal mencatat 19,8 miliar won kerugian operasional, menurut CEO Score.
Oryoon Lee, seorang analis di Euromonitor International, mengatakan kepada Nikkei bahwa penurunan penjualan bir Jepang di segmen toserba yang paling besar.
"Toko serba ada merupakan bagian terbesar dari penjualan bir di Korea Selatan. Rantai toko serba ada seperti CU dan Mini Stop mengembalikan atau membersihkan persediaan bir Jepang mereka karena rendahnya penjualan," tulis Lee dalam risetnya.
Akibat boikot bir Jepang, Euromonitor mencatat, posisi Asahi kini diambil alih Tsingtao Tiongkok sebagai bir impor terlaris diikuti Heineken di posisi kedua.
Ekspor bir Jepang ke Korea Selatan turun 49,2% menjadi 4 miliar yen pada 2019 dari tahun sebelumnya. Korea Selatan mencakup sekitar 55% terhadap total ekspor bir Jepang pada 2019. Jepang mengekspor 116 juta liter bir pada tahun 2018.
Selain Asahi, Kirin Holdings dan Sapporo Holdings juga berjuang di Korea Selatan dan sebelum memulai kembali kampanye pemasaran termasuk iklan TV yang sempat ditangguhkan tahun lalu.
"Beberapa pengecer tidak menerima produk Jepang," kata juru bicara Sapporo Holdings, menambahkan bahwa tidak ada tanda-tanda mereka kembali untuk menjual bir Sapporo.
Perusahaan makanan Jepang Ajinomoto, juga mengalami masa-masa sulit. Yang mana penjualan mereka Korea turun 34,2% menjadi 21 miliar won pada 2019, menurut CEO Score.
"Konsumen Korea Selatan dapat dengan mudah beralih ke produk lokal atau asing lainnya untuk makanan dan minuman dan pemain Jepang dapat terus melihat lingkungan bisnis yang sulit," Takayasu Yuichi, seorang profesor di Fakultas Ekonomi Universitas Daito Bunka, kepada Nikkei.
Dia juga mengungkapkan, sektor lain yang sangat terpukul akibat boikot adalah industri retail pakaian. "Pakaian terlihat..Bahkan ketika orang memakainya, konsumen menghindari itu karena suasana anti-Jepang," kata Takayasu.
Fast Retailing, pemilik merek Uniqlo, turut merasakan dampak ketegangan antara Jepang dan Korea Selatan, kata Chief Financial Officer Takeshi Okazaki kepada wartawan pada Juli.
Menurutnya, kerugian operasional Uniqlo di Korea Selatan melebihi target perusahaan untuk kuartal Maret-Mei sebagai akibat dari boikot dan pandemi corona.
Okazaki bahkan memperkirakan penurunan penjualan periode Juni-Agustus bakal lebih besar.
Demikian halnya dengan perusahaan perabot rumah tangga, Muji, mengumumkan bahwa laba operasional perusahaan di Asia Timur turun 15% pada tahun fiskal berakhir pada Februari 2020. Penurunan ini sebagian dikarenakan memburuknya hubungan antara Jepang dan Korea Selatan.