Tantangan PM Baru Jepang: Resesi Ekonomi Lebih Parah daripada Prediksi

ANTARA FOTO/REUTERS/Issei Kato/AWW/dj
Ilustrasi. Ekonomi Jepang pada kuartal II 2020 terkontraksi hingga mencapai 28,1%.
Penulis: Agustiyanti
8/9/2020, 10.08 WIB

Resesi ekonomi Jepang pada kuartal II tahun ini lebih dalam dari perkiraan awal. Data yang diperbarui pemerintah Jepang mencatat ekonomi terbesar ketiga dunia ini pada kuartal II 2020 terkontraksi mencapai 28,1% dibandingkan periode yang sama tahun ini, lebih buruk dari data sebelumnya sebesar 27,8%.

Realisasi ini merupakan yang terburuk sejak perang dunia kedua. Adapun penyebab utama di balik revisi tersebut adalah penurunan belanja modal yang ternyata lebih besar dari data awal sebesar 1,5% menjadi 4,7%. Kondisi ini menunjukkan pandemi Covid-19 menghantam sektor ekonomi lebih luas.

"Kami tidak dapat mengharapkan belanja modal bakal menguat jauh. Perusahaan tidak akan meningkatkan pengeluaran ketika prospeknya sangat tidak pasti," kata Ekonom Senior Mitshubishi UFH Morgan Stanley Securities seperti dikutip dari Reuters, Selasa (8/9).

Data tersebut akan menempatkan perdana menteri baru dalam tekanan untuk mengambil dukungan ekonomi yang lebih berani. Perdana menteri baru akan dipilih oleh partai berkuasa pada 14 September.

Kepala Sekretaris Kabinet Yashihide Suga, kandidat perdana menteri baru, telah mengisyaratkan kesiapannya untuk meningkatkan belanja jika memimpin Jepang.

Jepang baru-baru ini mengalami peningkatan kasus baru virus corona, tetapi terhindar dari jumlah korban beesar seperti pada negara-negara barat. Total kasus virus corona di negara tersebut hingga Senin (7/9) mencapai 72.321 dengan kematian mencapai 1.380 orang. Sementara total kasus di seluruh dunia mencapai lebih dari 27 juta dengan korban meninggal dunia mencapai 888 ribu orang.

Perekonomian Jepang telah menunjukkan beberapa tanda pemulihan setelah tergelincir ke dalam tiga kuartal berturut-turut kontraksi. Produksi pabrik naik pada bulan Juli pada laju tercepat dalam catatan karena pemulihan pada permintaan mobil.

Data terpisah yang dirilis pada Selasa menunjukkan pengeluaran rumah tangga turun 7,6% lebih besar dari perkiraan pada Juli dari tahun sebelumnya.

Upah riil turun selama lima bulan berturut-turut di bulan Juli, menunjukkan kemungkinan tekanan yang lebih dalam pada belanja konsumen.

Krisis kesehatan telah merusak berbagai sektor. Perusahaan raksasa otomoti seperti Honda memperkirakan penurunan 68% dalam laba operasi tahunan. Perusahaan kosmetik Shiseido juga memperkirakan bakal mencatatkan kerugian sepanjang tahun ini karena pandemi memukul penjulan kosmetik.

Kumpulan data baru akan menjadi salah satu faktor yang akan diamati oleh Bank of Japan pada tinjauan suku bunga minggu depan. Banyak yang berharap BOJ mempertahankan kebijakan moneternya.

Analis yang disurvei oleh Reuters pada bulan Agustus memperkirakan ekonomi Jepang akan menyusut 5,6% pada tahun fiskal saat ini hingga Maret mendatang dan tumbuh hanya 3,3% pada tahun berikutnya. Perkiraan ini lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan BOJ yang dirilis pada bulan Juli untuk kontraksi 4,7% dan 3,3%. pertumbuhan dalam periode yang sama.

Bank sentral melonggarkan kebijakan moneter dua kali tahun ini termasuk dengan mendirikan fasilitas pinjaman untuk memompa uang ke perusahaan kecil yang kekurangan likuiditas.

Banyak analis memperkirakan BOJ menunda peningkatan stimulus untuk saat ini karena langkah-langkah untuk memacu permintaan dapat membuat orang bergerak lebih bebas ke toko-toko dan berisiko menyebarkan virus.

"Meskipun pembatasan kegiatan ekonomi telah dilonggarkan, beberapa dari mereka akan tetap berada di bawah gaya hidup baru yang dipaksakan oleh pandemi," kata Yoshiki Shinke, Kepala Ekonom di Dai-ichi Life Research Institute.

Dengan demikian, ekonomi diperkirakan akan membutuhkan waktu lama untuk kembali normal ke level sebelum pandemi.

Amerika Serikat sebelumnya juga mencatatkan resesi ekonomi pada kuartal II 2020 lebih dalam dari Jepang mencapai 32.9%.