Penjaga Pantai Tiongkok Boleh Tembaki Kapal Asing di Laut Cina Selatan

ANTARA FOTO/HO/Dispen Koarmada I
Video capture KRI Tjiptadi-381 yang beroperasi di bawah kendali Gugus Tempur Laut (Guspurla) Koarmada I menghalau kapal Coast Guard China saat melakukan patroli di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, Senin (30/12/2019). KRI Tjiptadi-381 menghalau kapal Coast Guard China untuk menjaga kedaulatan wilayah dan keamanan di kawasan sekaligus menjaga stabilitas di wilayah perbatasaan.
Penulis: Happy Fajrian
23/1/2021, 14.49 WIB

Konflik di Laut Cina Selatan berpotensi memanas sewaktu-waktu setelah pada Jumat (22/1), badan legislatif Tiongkok meloloskan rancangan undang-undang (RUU) penjaga pantai (Coast Guard Law) yang secara eksplisit membolehkan penjaga pantainya untuk menembak kapal asing di perairan tersebut.

Seperti dilaporkan Reuters, narasi dalam beleid tersebut menyebutkan bahwa penjaga pantai diizinkan untuk menggunakan “segala cara yang dibutuhkan” untuk menetralisir ancaman dari kapal asing di Laut Cina Selatan.

Bahkan RUU tersebut secara spesifik mengatur jenis senjata yang dapat digunakan pada keadaan tertentu, mulai dari senjata tangan (pistol atau senjata laras panjang), senjata kapal atau pesawat.

Aturan tersebut juga mengizinkan anggota penjaga pantai menghancurkan segala jenis struktur bangunan yang sengaja dibangun oleh negara lain di kawasan terumbu karang, serta memeriksa kapal yang melaut di perairan yang diklaim Tiongkok tersebut.

RUU itu juga membolehkan penjaga pantai untuk membuat zona eksklusi sementara "sesuai kebutuhan" untuk menghentikan kapal asing dan semua personelnya.

Menanggapi kekhawatiran, juru bicara kementerian luar negeri Tiongkok Hua Chunying mengatakan bahwa undang-undang tersebut sejalan dengan praktik internasional.

Artikel pertama dari RUU tersebut menjelaskan bahwa hukum diperlukan untuk menjaga kedaulatan, keamanan, dan hak maritim Tiongkok.

Undang-undang ini muncul tujuh tahun setelah Tiongkok menggabungkan beberapa badan penegak hukum maritim sipil untuk membentuk biro penjaga pantai.

Setelah berada di bawah komando Polisi Bersenjata Rakyat (People’s Armed Police) pada 2018, biro tersebut menjadi cabang kekuatan militer yang sah.

Seperti diketahui, kawasan Laut Cina Selatan diperebutkan oleh Tiongkok dan sejumlah negara Asia Tenggara di sekitar perairan tersebut, yakni Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Indonesia, serta Taiwan dan Jepang.

Tiongkok sering kali menggunakan cara represif untuk mengusir kapal-kapal nelayan dari negara lain, terkadang hingga menenggelamkan kapal tersebut.

Ganggu Perdagangan Dunia

Sebelumnya Uni Eropa telah menyuarakan kekhawatirannya akan konflik Laut Cina Selatan akan mengganggu perdagangan dunia. Pasalnya perairan ini merupakan jalur penting perdagangan internasional.

Berbagai literatur menyebutkan bahwa nilai perdagangan internasional yang melalui kawasan ini mencapai US$ 5,3 triliun per tahun. Laut Cina Selatan juga kaya dengan sumber daya. Seperti minyak dan gas alam (migas) dan 10% dari total sumber daya perikanan dunia.

Duta Besar Uni Eropa untuk ASEAN Igor Driesmans pun berharap, sengketa di Laut Cina Selatan dapat segera selesai. "Kami ingin lihat kebebasan bernavigasi dan resolusi yang penuh damai untuk selesaikan sengketa," kata Driesmans dalam konferensi pers virtual, Rabu (2/12).

Menurutnya, sengketa di Laut Cina Selatan turut memberikan dampak terhadap Uni Eropa. Sebab, sebanyak 20% perdagangan maritim di Benua Biru tersebut berhubungan dengan Laut Cina Selatan.

Oleh karena itu, Uni Eropa menekankan pentingnya non militerisasi dan pengendalian diri di Laut Cina Selatan. Pihaknya juga menggarisbawahi perlunya penghormatan terhadap hukum internasional, termasuk Konvensi Hukum Laut Internasional atau Hukum Perjanjian Laut (United Nations Convention for the Law of the Sea/UNCLOS) 1982.

Ia pun berharap, negosiasi dapat segera dilakukan untuk mencapai kode etik yang efektif dan substantif di Laut Cina Selatan "Ini konsisten dengan hukum internasional termasuk UNCLOS," ujar dia.

Selain Uni Eropa, Amerika Serikat (AS) bersama sekutu-sekutunya seperti Australia, Jepang, Filipina khawatir Tiongkok menguasai Laut Cina Selatan dengan kekuatan militernya.

Negeri Panda itu dikhawatirkan akan menutup jalur komunikasi laut di perairan tersebut. Ini akan mengganggu kebebasan navigasi (freedom of navigation) dan jalur perdagangan internasional di sana.

Sayangnya, konflik di Laut Cina Selatan kemungkinan belum akan terselesaikan dalam waktu dekat menurut pandangan sejumlah analis. “Karena di situ ada overlapping dari beberapa negara,” kata Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Philips Vermonte.