Presiden Joko Widodo mendesak militer Myanmar untuk menghentikan penggunaan kekerasan dalam menghadapi unjuk rasa anti-kudeta. Jokowi mengatakan, keselamatan dan kesejahteraan rakyat harus menjadi prioritas utama.
"Indonesia mendesak Agar penggunaan kekerasan di Myanmar segera dihentikan, sehingga tidak ada lagi korban berjatuhan," kata Jokowi di Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (19/3).
Mantan Wali Kota Solo itu pun menyampaikan duka cita dan simpati kepada korban dan keluarga korban yang terdampak kekerasan di Myanmar.
Indonesia akan mendesak agar dialog dan rekonsiliasi segera dilakukan untuk memulihkan demokrasi. Selain itu, perdamaian dan stabilitas di Myanmar diharapkan segera pulih.
Untuk itu, Jokowi akan melakukan diskusi dengan Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah yang kini juga menjabat sebagai Ketua ASEAN. Keduanya bakal membahas kemungkinan diselenggarakan pertemuan tingkat tinggi di ASEAN yang memabahas krisis di Myanmar.
Sebagaimana diketahui, pertumpahan darah di Myanmar semakin parah setelah ratusan demonstran anti-kudeta tewas. Berdasarkan laporan media setempat, junta pun menerapkan status darurat militer.
Berikut Databoks yang menunjukkan tingkat demokrasi di Myanmar sebelum kudeta:
Paus Fransiskus turut membuka suara atas peristiwa ini. Mengutip dari Reuters, ia memohon untuk diakhirinya pertumpahan darah di Myanmar, dan berkata dirinya akan "berlutut di jalan-jalan Myanmar dan berkata hentikan kekerasan".
Permintaan itu disampaikan Paus di akhir audiensi mingguannya pada Rabu, yang dilangsungkan secara virtual dari perpustakaan Vatikan karena pembatasan untuk mencegah penularan Covid-19.
"Sekali lagi dan dengan penuh kesedihan saya merasakan urgensi untuk berbicara tentang situasi dramatis di Myanmar, di mana banyak orang, kebanyakan dari mereka yang masih muda, kehilangan nyawa mereka untuk memberi harapan kepada negara mereka," kata Paus Fransiskus.
Sejak kudeta dilancarkan militer Myanmar terhadap pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021, lebih dari 180 pengunjuk rasa dilaporkan tewas ketika pasukan keamanan mencoba untuk menghancurkan gelombang demonstrasi di seluruh negeri.
Ada sekitar 800 ribu umat Katolik Roma di Myanmar, negara yang mayoritas beragama Buddha. Paus Fransiskus, yang mengunjungi Myanmar pada 2017, menegaskan bahwa "darah tidak menyelesaikan apapun" dan "dialog harus menang".
Selain umat Katolik, di Myanmar juga ada etnis minoritas Rohingya yang beragama Islam. Mereka hidup tertekan hingga Sebagian harus mengungsi ke luar negeri, termasuk ke Indonesia.