Idriss Deby, Presiden Chad yang Tewas Lawan Pemberontak

https://presidence.td
Presiden Chad Idriss Deby (berbaju putih) tewas dalam pertempuran melawan pasukan pemberontak kemarin, Selasa (20/4).
Penulis: Sorta Tobing
21/4/2021, 13.40 WIB

Presiden Chad Idriss Deby tewas dalam pertempuran dengan pemberontak kemarin, Selasa (20/4). Peristiwa ini mengakhiri 30 tahun kekuasaannya di negara Afrika Tengah tersebut. 

Melansir dari VOA, Deby meninggal karena luka-luka yang dideritanya saat berada di garis depan. Pasukan pemberontak, Front untuk Perubahan dan Kerukunan atau FACT, maju dari utara dalam beberapa hari terakhir menuju ibu kota, N’Djamena. 

Pemerintah dan parlemen telah dibubarkan. Juru bicara militer Azem Bermendao Agouna mengatakan dewan militer akan mengambil alih Chad selama 18 bulan ke depan. 

Dalam periode tersebut Dewan akan dipimpin putra Deby yang berusia 37 tahun, Jenderal Mahamat Idriss Deby Itno. “Presiden baru saja mengembuskan napas terakhirnya, membela negara yang berdaulat di medan perang,” kata Agouna, dikutip dari AlJazeera

Penyebab pasti kematian Deby tidak disebutkan dengan jelas. Pihak militer hanya mengatakan Presiden telah memimpin tentaranya sejak akhir pekan. Para pemberontak mulai melakukan serangan besar-besaran ke utara negara itu pada hari pemilihan umum (pemilu) 11 April 2021. 

Departemen Luar Negeri Amerika Serikat telah menyampaikan belasungkawanya dan mendukung transisi kekuasaan secara damai. Tidak jelas apa arti kematian Deby bagi hubungan kedua negara. Namun, Itno cenderung memiliki hubungan baik dengan Prancis, yang memiliki pangkalan militer di Chad, dan Amerika Serikat. 

Siapa Idriss Deby?

Deby wafat dalam usia 68 tahun. Ia telah memimpin negara bekas koloni Prancis tersebut sejak kudeta Desember 1990 dan menjadikannya salah satu pemimpin terlama di Afrika. 

Negara Barat memandang Deby sebagai sekutu penting dalam perang melawan kelompok ekstremis Islam di Afrika Barat dan Sahel. Termasuk pemberontak Boko Haram yang bermarkas di Nigeria. 

Pasca kematiannya, Prancis memuji Deby. "Chad kehilangan seorang teman dari Prancis dan mitra yang dapat diandalkan," kata Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian, dikutip dari Wall Street Journal

Deby sempat memimpin garis depan pada tahun lalu melawan Boko Haram. Ia mengklaim kemenangan dan berhasil membunuh seribu pemberontak. 

Tentara dari negara mayoritas Muslim itu kerap kali bertempur melawan Boko Haram, ISIS, dan jaringan Al Qaeda di negara tetangganya, seperti Nigeria, Kamerun, dan Niger. 

Namun, di dalam negeri pihak oposisi menyebutnya autokrat dan mengkritik caranya mengurus sektor perminyakan negara tersebut. Minyak merupakan sumber utama pendapatan Chad.

Deby disebut telah melakukan kecurangan pemilu, memenjarakan lawan, dan korupsi pada kontrak minyak. Dalam beberapa bulan terakhir, lawan politiknya terus mendesaknya untuk mundur. 

Pemimpin oposisi Chad Saleh Kebzabo terkejut ketika mengetahui kematian Deby dan menyerukan pembicaraan damai untuk menyelesaikan masalah negara. “Kami pikir, dalam situasi seperti ini, seseorang harus menahan diri dari keputusan yang tergesa-gesa,” katanya. 

Wafatnya Deby hanya sehari setelah ia dinyatakan sebagai pemenang pemilihan umum pada 11 April lalu dengan 79% suara. Kemenangan ini memberinya masa jabatan yang keenam.

Sebagian besar kelompok oposisi telah memboikot pemungutan suara tersebut. Pasalnya, dalam waktu bersamaan pemerintah juga menangkap dan melarang demonstrasi para oposisi.  

Usai menang, Deby lalu pergi ke garis depan untuk bergabung dengan pasukan militer. Pemberontak FACT yang berbasis di Libya telah menyerang pos perbatasan pada hari pemilu. Letaknya hanya ratusan kilometer saja dari Ibu kota.

Mahamat Cherif Djako, perwakilan FACT di Eropa, mengatakan kelompoknya ingin terus berjuang untuk mengambil alih ibu kota. “Jika rezim Deby terus berlanjut, kami akan terus berjuang,” katanya.