Pemerintah Australia memutuskan membatalkan dua kesepakatan antara negara bagian Victoria dan Tiongkok dalam proyek Belt and Road Initiative (BRI). Pembatalan proyek ini membuat hubungan Australia dan Tiongkok semakin tegang.
BRI merupakan program yang diperkenalkan oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping pada 2013 dengan nama One Belt One Road (OBOR). Ini merupakan rencana besar pemerintah negara yang juga dikenal dengan nama China untuk menghidupkan kembali kejayaan Jalur Sutra (Silk Road) di abad ke-21.
Kementerian Luar Negeri China merespons keputusan itu dengan mengingatkan agar Australia tak memperburuk hubungan bilateral yang sudah tegang.
Australia merupakan satu-satunya negara yang membatalkan perjanjian Belt and Road Initiative. Wang Wenbin, juru bicara kementerian luar negeri Tiongkok, menyebut keputusan tersebut menjadi preseden berbahaya. "China berhak untuk mengambil tindakan lebih lanjut," kata Wang pada jumpa pers dikutip dari Reuters, Kamis (22/4).
Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne memveto dua perjanjian kerangka kerja yang ditandatangani oleh negara bagian Victoria dengan Tiongkok. "Skema ini sangat difokuskan pada kepentingan nasional Australia. Ini tentang memastikan konsistensi hubungan luar negeri kami di seluruh Australia dan pasti tidak ditujukan pada satu negara," katanya kepada program AM radio ABC.
Kesepakatan Belt and Road Initiative antara kedua negara ini sebenarnya tak sepenuhnya mendapat dukungan. Awalnya, pemerintah koalisi konservatif Australia telah menolak untuk menyetujui nota kesepahaman (MoU) tingkat negara dengan Tiongkok.
Namun, pemimpin negara bagian Victoria Dan Andrews menandatangani sebuah perjanjian untuk mempromosikan inisiatif pembangunan infrastruktur pada 2018 dan 2019 dengan mengatakan bahwa kesepakatan itu akan membawa investasi China ke negara bagiannya.
Hubungan diplomatik kedua negara ini memburuk sejak Australia mendorong Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melakukan investigasi atas munculnya asal-usul virus corona di Wuhan.
Negeri Tirai Bambu merespons sikap Australia dengan membalasnya lewat pembatasan produk impor asal Negara Kanguru tersebut. Australia pun membalas dengan melarang perusahaan telekomunikasi Tiongkok, Huawei, beroperasi pada jaringan 5G di negara itu.
Kontroversi Proyek BRI di Asia
Proyek BRI atau OBOR juga memicu kontroversi di Asia. Pada pertemuan ke-39 Dewan Hak Asasi Manusia di Jenewa, Swiss pada medio September 2018, India menyatakan keberatan terhadap OBOR. Pasalnya, pembangunan Koridor Ekonomi Tiongkok-Pakistan dinilai mengabaikan kedaulatan dan integritas wilayah India.
Survei Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) pada Januari lalu juga menunjukkan kekhawatiran terhadap makin besarnya pengaruh Tiongkok dan program OBOR. Survei yang melibatkan 1.008 responden dari sepuluh negara Asean ini menunjukkan 73% responden menilai Tiongkok punya pengaruh ekonomi terbesar di Asean. Bahkan, lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh AS di kawasan tersebut.
Akan tetapi, mayoritas responden juga khawatir terhadap ambisi geostrategis Tiongkok. Sebanyak 70% responden menilai pemerintah di negaranya harus berhati-hati dalam negosiasi proyek-proyek infrastruktur OBOR. Responden dari Malaysia, Filipina, dan Thailand, sebagaimana dikutip Reuters, menilai hal ini penting agar pemerintah tidak terjerat utang.
Di sisi lain, proyek Tiongkok ini mendapatkan dukungan dari Arab dam Rusia. Presiden Rusia Vladimir Putin pada 2019 lalu menyetujui pembangunan jalan sepanjang 1.250 mil atau 2.012 km yang menghubungkan Belarus dengan Shanghai.
Proyek yang disebut sebagai Meridian Highway itu merupakan bagian dari jalur sepanjang 8.050 km yang menghubungkan Shanghai, Tiongkok dengan Hamburg, Jerman. Menurut The Moscow Times, konstruksi jalan raya yang terdiri atas empat lajur itu dimulai tahun ini dan diperkirakan tuntas pada 2033. Nilai proyek tersebut mencapai Rp 131,3 triliun. Proyek ini diharapkan dapat mempersingkat rute kargo darat dari Tiongkok bagian barat ke Eropa Tengah.
Kepala Riset Pusat Analisis Rusia-Tiongkok, Sergei Sanakoyev, mengatakan proyek Meridian Highway ini bisa membuka tambahan lapangan kerja dan menambah pendapatan Rusia dari transit kendaraan kargo dari Tiongkok. Russian Holding, perusahaan yang dipimpin mantan petinggi Gazprom Alexander Ryazanov, menjadi salah satu pemilik dari proyek ini dan menguasai 80% lahan yang akan dilewati pembangunan jalan tersebut.