Uni Eropa memperkuat dukungannya untuk Pfizer-BioNTech dan teknologi vaksin Covid-19 yang baru pada Sabtu (8/5) dengan menyetujui perpanjangan kontrak besar-besaran untuk membeli vaksin dengan potensi mencapai 1,8 miliar dosis hingga 2023.
Presiden Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen mengatakan pihaknya baru saja menyetujui kontrak untuk jaminan 900 juta dosis ditambah 900 juta dosis optional. Kontrak baru, yang mendapat dukungan dari negara-negara anggota Uni Eropa ini mensyaratkan tidak hanya produksi vaksin, tetapi juga memastikan bahwa semua komponen penting vaksin harus bersumber dari Eropa.
Komisi Eropa saat ini memiliki portofolio 2,3 miliar dosis dari setengah lusin perusahaan. "Kontrak lain dan teknologi vaksin lainnya akan menyusul," kata von der Leyen di akun Twitter-nya dikutip dari CNBC, Jumat (9/5).
Pengumuman hari Sabtu juga menggarisbawahi kepercayaan yang telah ditunjukkan UE terhadap teknologi yang digunakan untuk vaksin Pfizer-BioNTech, yang berbeda dari yang ada di balik vaksin Oxford-AstraZeneca.
Bahan aktif dalam suntikan Pfizer-BioNTech adalah messenger RNA, atau mRNA, yang berisi instruksi bagi sel manusia untuk membangun bagian virus corona tidak berbahaya yang disebut protein lonjakan. Sistem kekebalan manusia mengenali protein lonjakan sebagai benda asing, memungkinkannya untuk meningkatkan respons terhadap virus setelah infeksi.
Pfizer Amerika dan BioNTech Jerman telah mengatakan bahwa mereka akan memberi UE tambahan 50 juta dosis pada kuartal ke-2 tahun ini, menggantikan pengiriman AstraZeneca yang tersendat-sendat.
Berbeda dengan AstraZeneca Anglo-Swedia yang sering dikritik, von der Leyen mengatakan bahwa Pfizer-BioNTech adalah mitra terpercaya yang memenuhi komitmen.
WHO mengkritik langkah negara-negara Barat yang memborong vaksin lebih banyak daripada yang mereka butuhkan. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, hanya 0,2% dari lebih dari 700 juta dosis vaksin yang diberikan secara global pada awal April 2021 diberikan di negara-negara berpenghasilan rendah.
Sementara negara-negara berpenghasilan tinggi dan menengah ke atas menyumbang lebih dari 87% dosis. Di negara berpenghasilan rendah, hanya satu dari lebih dari 500 orang yang telah menerima vaksin Covid-19. Ini jauh berbeda dibandingkan dengan hampir satu dari empat orang di negara berpenghasilan tinggi. Kondisi kontras yang digambarkan Tedros sebagai ketidakseimbangan yang mengejutkan.
"Beberapa dari 92 negara berpenghasilan rendah bahkan belum menerima vaksin apa pun. Tidak ada yang saat ini menerima cukup dosis vaksin, beberapa ngara bahkan tidak menerima alokasi putaran kedua vaksin secara tepat waktu," kata Tedros, seperti dikutip dari CNN.