Masalah Taiwan Peruncing Perang Dagang Tiongkok-Australia

ANTARA FOTO/REUTERS/Tingshu Wang/hp/cf
Tingshu Wang Para turis berjalan melewati jam layar raksasa yang memperingati 100 tahun pendirian Partai Komunis China, di Bandara Internasional Daxing Beijing pada hari libur pertama Hari Buruh, di Beijing, China, Sabtu (1/5/2021).
Penulis: Pingit Aria
13/5/2021, 07.00 WIB

Sementara sebagian besar masyarakat Indonesia merayakan lebaran, kondisi geopolitik global tengah memanas. Ketegangan tak hanya terjadi antara Israel dan Palestina di Jalur Gaza, namun juga antara Tiongkok dan Australia.

Pemimpin redaksi media Tiongkok, Global Times, Hu Xijin lewat sebuah opini mendorong pemerintahnya untuk meluncurkan rudal ke Australia. Menurut Hu, Tiongkok harus mempertimbangkan meluncurkan serangan jarak jauh ke Australia jika negara itu bergabung dengan Amerika Serikat untuk melindungi Taiwan.

"Saya sarankan Beijing membuat rencana pembalasan terhadap Australia setelah secara militer mencampuri situasi lintas-Selat," tulis Hu seperti dimuat di Global Times.

Hu mengungkapkan, jika Australia nekat berkoordinasi dengan AS untuk campur tangan secara militer dalam masalah Taiwan, maka Tiongkok harus bertindak.

"Tiongkok memiliki kemampuan yang mumpuni, termasuk memproduksi rudal jarak jauh tambahan dengan hulu ledak konvensional yang menargetkan sasaran militer di Australia ketika situasi menjadi sangat tegang," kata Hu.

Tiongkok selama ini menganggap Taiwan sebagai bagian wilayahnya dan berjanji bakal merebut, bahkan dengan kekerasan jika perlu. Tiongkok juga menentang setiap kontak resmi Taiwan dengan negara lain.

Beijing telah meningkatkan tekanan diplomatik dan militer sejak Presiden Tsai Ing-wen berkuasa karena memandang Taiwan sebagai negara berdaulat dan bukan bagian dari Tiongkok. Pendekatan AS ke Taiwan kemudian menjadi sumber perselisihan baru bagi Washington dan Beijing.

Simak Databoks berikut: 

Perang Dagang

Tak hanya terkait geopolitik, perang dingin antara Tiongkok dan Australia juga menyangkut masalah ekonomi. Pekan lalu, Tiongkok mengumumkan penghentian seluruh aktivitas dialog ekonomi strategis dengan Australia.

Ini adalah pembekuan mekanisme diplomatik resmi pertama antar kedua negara sejak hubungan mereka memburuk dalam beberapa tahun terakhir.

Para analis menyebut langkah Komisi Pembangunan dan Reformasi Tiongkok ini sebagai tindakan balasan terhadap keputusan pemerintah Australia baru-baru ini. Dua pekan sebelumnya, pemerintah Federal Australia membatalkan dua perjanjian yang sudah dibuat oleh Beijing dengan pemerintah negara bagian Victoria sebagai bagian dari proyek Belt dan Road.

Dalam pernyataannya, Komisi tersebut menuduh Australia secara tidak adil menyasar Tiongkok. "Baru-baru ini, beberapa pejabat pemerintah Federal Australia melancarkan serangkaian tindakan merusak kerja sama dengan Tiongkok, dengan kerangka berpikir dari era Perang Dingin," demikian pernyataan Komisi tersebut.

Dialog Ekonomi Strategis Tiongkok- Australia dilakukan di tahun 2017 ketika Menteri Perdagangan Steve Ciobo melakukan perjalanan ke Beijing. Namun hubungan bilateral kedua negara memburuk sejak itu.

Ketegangan meruncing pada 2020 setelah Canberra menyerukan penyelidikan internasional mengenai asal usul pandemi Covid-19. Hal ini membuat Tiongkok melakukan pembalasan dengan pembatasan di bidang perdagangan.

Tiongkok sejauh ini merupakan pasar ekspor keseluruhan teratas Australia. Berdasarkan data Dana Moneter Internasional (IMF), nilai pasar ekspor kedua negara senilai US$ 104 miliar pada 2019.

Pengiriman daging sapi, barley, dan batu bara Australia senilai miliaran dolar merupakan yang paling terpengaruh oleh langkah yang diambil Tiongkok baru-baru ini. Apalagi, Tiongkok dapat dengan mudah menemukan pasokan alternatif.

Bagaimanapun, bijih besi - ekspor utama Australia dan bahan penting untuk sektor baja Tiongkok sejauh ini telah terhindar dari aksi perang dagang. Begitu pula LNG dan batu bara Australia juga masih bisa masuk pasar Tiongkok.

Reporter: Antara