Risiko Gagal Bayar Utang Amerika Mampu Memicu Krisis Baru

ANTARA FOTO/REUTERS/Erin Scott/AWW/dj
Ilustrasi. Utang Amerika Serikat mencapai US$ 28,4 triliun atau setara Rp 404 kuadriliun.
Penulis: Agustiyanti
22/9/2021, 19.02 WIB

Ekonomi Amerika Serikat berpotensi kembali terjun ke dalam resesi akibat berlarut-larutnya pembahasan kenaikan pagu utang pemerintahan Joe Biden. Kenaikan pagu utang Amerika penting untuk menghindari ancaman ditutupnya sebagian pemerintah karena kekurangan anggaran dan kegagalan membayar utang untuk pertama kalinya dalam sejarah.

Berdasarkan data Statista per Agustus 2021, utang Amerika Serikat mencapai US$ 28,4 triliun atau setara Rp 404 kuadriliun. Posisi utang tersebut telah mencapai batas maksimalnya sehingga pemerintah AS tak dapat lagi menambah utang jika tak ada kebijakan penangguhan. Batasan ini sempat ditangguhkan sejak 2019 hingga awal bulan lalu di bawah kesepakatan yang dicapai selama pemerintahan Trump. 

Saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat AS telah meloloskan RUU yang akan menangguhkan batas maksimal utang hingga akhir 2022. Namun, RUU ini masih membutuhkan persetujan senat mengingat sistem legislatif dua kamar yang dianut negara adidaya ini. 

Jika kesepakatan meningkatkan batas utang gagal dicapai di senat, Departemen Keuangan tidak akan mampu membayar utang saat jatuh tempo. Menteri Keuangan Janet L. Yellen mengatakan awal pekan ini bahwa default seperti itu belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah AS. 

Mengutip Reuters, Partai Republik kemungkinan bertahan dengan penolakan mereka untuk mendukung penangguhan batas maksimal utang di senat. Jika ini terjadi, Partai Demokrat harus memiliki strategi baru untuk mengatasi potensi penutupan sebagian pemerintahan karena tidak mampu membayar tagihannya dan risiko default untuk pertama kali.

Suara anggota Demokrat yang dominan di DPR AS sebanyak 220 orang menyetujui RUU tersebut. Adapun partai oposisi pemerintah Joe Biden, Republik, mengatakan akan berjuang menghentikan ketentuan batas utang tersebut dalam pembahasan di Senat.

Partai Republik masih belum menyetujui penambahan plafon utang dan meminta klausul tersebut dicabut dari RUU tersebut. Pemimpin Republik di Senat Chuck Schumer, menilai kenaikan plafon utang dapat membawa malapetaka ekonomi.

Utang Amerika Serikat terus meningkat dan telah melampaui produk domestik brutonya (PDB). Pada akhir tahun lalu, PDB AS mencapai sekitar US$ 21 triliun. 

Mengutip Washington Post, Kepala Ekonom Moody’s Analytics Mark Zandi menilai, kebuntuan berkepanjangan atas plafon utang akan merugikan ekonomi AS hingga 6 juta pekerja, memangkas pendapatan rumah tangga hinga US$ 15 triliun, dan mengirim tingkat pengangguran melonjak menjadi 9% dari saat ini 5%. 

“Skenario ekonomi ini adalah bencana besar. Penurunan yang ditimbulkan akan sebanding dengan yang diderita selama krisis keuangan tabun 2008,” demikian tertulis dalam laporan Zandi dan Bernard Yaros, Asisten Direktur dan Ekonom Moody’s Analytics. 

Meskipun utang AS meningkat hampir US$ 8 triliun di bawah Presiden Donald Trump, Partai Republik bersikeras bahwa mereka akan menolak untuk membantu Demokrat meningkatkan pagu utang, bertentangan dengan rencana pengeluaran Presiden Biden. 

 

Moody’s memperkirakan, jatuh tempo utang AS akan terjadi pada 20 Oktober, meski Departemen Keuangan AS belum memberikan perkiraan. Pada saat itu, pejabat Departemen Keuangan AS akan menghadapi pilihan yang sulit, seperti apakah akan gagal membayar US$ 20 miliar jaminan sosial untuk manula atau gagal membayar pemegang obligasi utang AS. 

Kegagalan bayar utang akan menjadi  keputusan yang dapat merusak kepercayaan pada utang AS dan secara permanen mendorong biaya pinjaman tinggi federal biaya pinjaman lebih tinggi.

Kegagalan untuk menaikkan batas utang akan berdampak buruk pada pasar keuangan global. Suku bunga akan melonjak karena investor menuntut tingkat pengembalian yang lebih tinggi untuk risiko mengambil utang AS, mengingat ketidakpastian tentang pembayaran. 

Kenaikan suku bunga sebagai dampak dari kegagalan tersebut akan berdampak pada perekonomian, yakni meningkatkan biaya tidak hanya untuk pembayar pajak tetapi juga untuk konsumen dan peminjam lainnya. Nilai dolar AS juga akan turun dalam jangka panjang karena investor mempertanyakan keamanan pembelian imbal hasil AS. Biaya kredit mobil dan rumah akan meningkat.

“Harga saham akan terpangkas hampir sepertiganya pada aksi jual terburuk, memangkas US$ 15 triliun kekayaan rumah tangga,” kata Moody's.

Pasar akan pulih setelah kebuntuan teratasi, tetapi sejumlah kerugian akan permanen. Imbal hasil treasury, suku bunga hipotek, dan tingkat pinjaman konsumen dan korporasi lainnya akan melonjak, setidaknya sampai batas utang diselesaikan dan pembayaran treasury dilanjutkan.

Kedua partai, baik Demokrat maupun Republik tetap yakin pelonggaran plafon utang akan  dapat dihindari. Baik pejabat Gedung Putih dan anggota parlemen GOP bersikeras dalam beberapa hari terakhir bahwa plafon utang akan dinaikkan atau ditangguhkan. Namun, mereka beradu pendapat mengenai bagaimana hal itu akan terjadi.

Partai Republik bersikeras bahwa Demokrat harus meningkatkan batas utang mereka sendiri, karena mereka mendorong triliunan dolar dalam prioritas pengeluaran baru. Namun, Demokrat telah menolak pendekatan itu  dan menerkankan bahwa  tingkat utang nasional saat ini, yang memerlukan kenaikan pagu utang, disebabkan oleh serangkaian prioritas kebijakan dari kedua belah pihak. 

Meski masalah ini rampung sebelum batas utang dilanggar, masalah berbelit ini merugikan pembayar pajak dan ekonomi Amerika dalam jangka panjang. Pertarungan anggaran atas pagu utang tahun 2011 dan 2013 di bawah pemerintahan Obama menciptakan ketidakpastian keuangan dan investasi bisnis yang mengempis, merugikan ekonomi AS sebanyak US$ 180 miliar dan 1,2 juta pekerjaan pada 2015, menurut Zandi dan Yaros.

Secara historis, kedua belah pihak telah bersatu untuk memastikan plafon utang dinaikkan. Namun, membawa kondisi ini menjadi pion politik akan membahayakan kepercayaan internasional pada pemerintah AS, mendorong biaya pinjaman lebih tinggi, bahkan jika itu tidak dilanggar.

“Dampak seluruh proses ini akan tercermin dalam biaya yang lebih tinggi bagi pembayar pajak,” kata Zandi.