Sejarah Baru Dunia, WHO Umumkan Vaksin Malaria Pertama di Dunia

Pixabay
Ilusrasi nyamuk Anopheles penyebab penyakit malaria
7/10/2021, 08.50 WIB

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan penggunaan vaksin malaria kepada anak-anak di seluruh Afrika. Langkah bersejarah ini diharapkan bisa membasmi wabah malaria yang sudah berlangsung ratusan tahun.

Selain untuk anak-anak Afrika, vaksin juga akan diberikan kepada wilayah lain dengan resiko penularan tinggi.  WHO juga merekomendasikan vaksin malaria tersebut ke seluruh dunia.

 Dilansir dari The Guardian, vaksin bernama RTS,S yang juga dikenal sebagai Mosquirix, dikembangkan oleh perusahaan farmasi Inggris GlaxoSmithKline (GSK).

Vaksin itu telah diberikan kepada lebih dari 800.000 anak di Ghana, Kenya, dan Malawi sejak program percontohan dimulai pada 2019.

Vaksin yang melalui uji klinis panjang ini memiliki kemanjuran yang terbatas, namun mampu mencegah 39% kasus malaria dan 29% kasus malaria parah di antara anak-anak kecil di Afrika selama empat tahun percobaan.

Akan tetapi pada bulan Agustus, sebuah penelitian yang dipimpin oleh London School of Hygiene & Tropical Medicine (LSHTM) menemukan bahwa ketika anak-anak diberikan RTS,S dan obat antimalaria, terjadi pengurangan 70% dalam rawat inap atau kematian.

 Sementara itu, GSK berkomitmen untuk menyumbangkan sebanyak 10 juta dosis untuk uji coba yang sedang berlangsung, dan akan memasok sebanyak 15 juta dosis setiap tahun.

Sebuah penelitian terhadap 6.000 anak, yang diterbitkan pada bulan Agustus lalu menemukan bahwa, kombinasi obat antimalaria dan vaksinasi menurunkan rawat inap dan kematian akibat malaria sekitar 70% setelah tiga tahun. Pengembangan awal vaksin ini dimulai sekitar tahun 1984.

Penyakit malaria yang disebabkan parasit tersebut diperkirakan membunuh 400 ribu orang per tahun. Penyakit ini ditularkan  infeksi parasit plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk malaria Anopheles.

Nyamuk Anopheles jamak ditemukan di daerah dengan iklim sedang seperti Afrika, India, ataupun  Indonesia.

Penyuntikan vaksin untuk anak-anak Afrika tersebut merupakan langkah besar mengingat penelitian vaksin malaria sudah berlangsung selama tiga dekade dan menghabiskan sekitar US$1 miliar.

Tidak heran kemudian WHO menyebut pengumuman penyuntikan vaksin malaria "Hari Bersejarah"

“Ini secercah harapan bagi benua tersebut, yang memikul beban terberat dari penyakit malaria. Dan kami berharap akan lebih banyak anak Afrika yang terlindung dari malaria dan tumbuh menjadi orang dewasa yang sehat,” kata direktur regional WHO untuk Afrika Matshidiso Moeti, dikutip dari Bloomberg, Kamis (7/10).

 Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyambut gembira ‘hari bersejarah’ itu dan meminta agar vaksin itu disebarluaskan setelah program percontohan yang sukses di tiga negara Afrika untuk vaksin RTS,S.

“Saya memulai karir saya sebagai peneliti malaria dan saya merindukan hari dimana kita akan memiliki vaksin yang efektif melawan penyakit kuno dan mengerikan ini. Dan hari ini adalah hari itu, hari yang bersejarah, WHO merekomendasikan penggunaan luas vaksin malaria pertama di dunia,” kata Tedros dikutip saat konferensi pers di Jenewa seperti dikutip The Guardian, Kamis (7/10).

Menemukan vaksin malaria merupakan hal yang rumit bagi pembuat vaksin, tetapi para peneliti telah membuat banyak kemajuan.

Awal tahun ini, para ilmuwan di Jenner Institute of Oxford University mengatakan bahwa vaksin yang mereka kembangkan telah menunjukkan hasil yang akan membuatnya menjadi vaksin pertama yang memenuhi tujuan WHO tentang kemanjuran hingga 75%.

Jumlah kasus malaria di Indonesia (Kementerian Kesehatan)



Lebih dari 2,3 juta dosis vaksin telah diberikan, dan transfer produk sedang berlangsung dengan Bharat Biotech of India. Perusahaan tersebut berjanji untuk menyediakan dosis tidak lebih dari 5% di atas biaya produksi.

Adapun, langkah selanjutnya yang akan dilakukan WHO yakni, menyusun rencana pendanaan untuk peluncuran yang lebih luas.

WHO juga menunggu keputusan dari negara-negara di dunia mengenai apakah akan mengadopsi vaksin tersebut sebagai bagian dari strategi pengendalian malaria nasional di negara masing-masing.

 Indonesia Targetkan Bebas Malaria di 2030
Indonesia pada tahun 2014 mencanangkan gerakan Indonesia Bebas Malaria di tahun 2030.  Malaria sempat menjadi salah satu wabah yang mematikan di Indonesia.

Menurut Kementerian Kesehatan, malaria membunuh ratusan ribu warga Indoneesia pada era 1950an.

Pada tahun 1959, Indonesia kemudian membentuk Dinas Pembasmian Malaria. Indonesia melakukan pembasmian malaria secara masal dengan dengan menggunakan insektisida Dichloro Diphenyl Trichloroethane (DDT) di seluruh Jawa, Bali, dan Lampung.

Lima tahun kemudian, lebih kurang 63 juta penduduk telah mendapat perlindungan dari penyakit malaria.

Keberhasilan pemberantasan malaria ini secara simbolis diperingati pada tanggal 12 November 1964. Tanggal tersebut bahkan kemudian diperingatai sebagai Hari Kesehatan Nasional dan menjadi tonggak awal pembangunan kesehatan di Indonesia.
Dikutip dari Kementerian kesehatan, pada 2010 kasus positif malaria di Indonesia mencapai 465,7 ribu, sementara pada 2020 kasus positif menurun menjadi 235,7 ribu. 

 Di sisi lain, jumlah wilayah di Indonesia yang berhasil melakukan eliminasi malaria bertambah. Pada tahun 2019 kabupaten/kota yang berhasil mengeliminasi malaria sebanyak 300, di tahun 2020 bertambah menjadi 318.

Berdasarkan capaian endemisitas per provinsi tahun 2020 terdapat 3 provinsi yang telah mencapai 100% eliminasi malaria, antara lain DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Bali).

Sementara provinsi dengan wilayahnya yang belum mencapai eliminasi malaria yakni Maluku, Papua, dan Papua Barat.

Tahun 2020 masih ada 23 kabupaten/kota yang endemis malarianya masih tinggi, 21 kabupaten/kota endemis sedang, dan 152 kabupaten/kota endemis rendah.

Untuk mencapai Indonesia Bebas Malaria 2030 atau Eliminasi Malaria Nasional pemerintah pada tahun 2021 mentargetkan sebanyak 345 kabupaten/kota yang mencapai eliminasi malaria. Untuk mencapai target ini, perlu dilakukan intensifikasi pelaksanaan penanggulangan malaria secara terpadu dan menyeluruh.

Reporter: Cahya Puteri Abdi Rabbi