AS Tegaskan Tak Beri Legitimasi ke Taliaban usai Pertemuan Perdana

ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer/FOC/djo
Ilustrasi. Taliban mengambil kembali kekuasaan di Afghanistan 20 tahun setelah mereka digulingkan dalam invasi pimpinan AS.
Penulis: Agustiyanti
11/10/2021, 08.55 WIB

Amerika Serikat menyatakan telah melakukan pertemuan tatap muka dengan Taliban untuk pertama kalinya sejak kelompok garis keras itu merebut kembali kekuasaan Afganistan pada Agustus lalu. Namun, Negara Adidaya ini menyatakan pertemuan tersebut tak berarti AS mengakui atau memberikan legitimasi terhadap kepemimpinan Taliban di Afganistan.

Sebuah pernyataan Departemen Luar Negeri AS mengatakan delegasinya dalam pembicaraan akhir pekan di Doha, Qatar membahas  masalah keamanan dan terorisme, perjalanan yang aman bagi warga AS, warga Taliban, dan warga lainnya, serta hak asami mamusia, termasuk partisipasi yang berarti dari perempuan di sema aspek masyarakat Afganistan.  Mereka juga membahas bantuan kemanusiaan AS kepada rakyat Afghanistan.

"Diskusi itu jujur ​​dan profesional dengan delegasi AS yang menegaskan bahwa Taliban akan dinilai atas tindakannya, bukan hanya kata-katanya," demikian Pernyataan tersebut. 

Pada  Sabtu (8/10), penjabat menteri luar negeri Afghanistan mengatakan kepada Al Jazeera bahwa perwakilan Taliban meminta Amerika Serikat dalam pembicaraan untuk mencabut larangan cadangan bank sentral Afghanistan. 

Pejabat pemerintahan Biden mengatakan kepada Reuters pada hari Jumat bahwa delegasi AS akan menekan Taliban untuk membebaskan warga AS yang diculik, Mark Frerichs. Prioritas utama lainnya adalah memegang teguh komitmen Taliban untuk tidak membiarkan Afghanistan kembali menjadi sarang al Qaeda atau ekstremis lainnya.

Taliban mengambil kembali kekuasaan di Afghanistan 20 tahun setelah mereka digulingkan dalam invasi pimpinan AS karena menolak menyerahkan pemimpin Al Qaeda Osama bin Laden menyusul serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat.

Para pejabat AS mengatakan pertemuan itu merupakan kelanjutan dari keterlibatan pragmatis dengan Taliban dan bukan tentang memberikan pengakuan atau legitimasi kepada kelompok itu. Mereka juga mengatakan mereka berhubungan dengan lusinan orang Amerika dan penduduk tetap resmi yang ingin meninggalkan Afghanistan dan ada ribuan warga Afghanistan sekutu AS yang menghadapi risiko penganiayaan Taliban masih di negara itu.

Plt Menteri Luar Negeri Taliban  Mullah Amir Khan Muttaqi mengatakan kedua negara sepakat untuk menjunjung perjanjian Doha yang ditandatangani kedua negara pada 2020 silam. Perjanjian tersebut termasuk kewajiban Taliban untuk mencegah kelompok ekstrimis seperti al-Qaeda mengancam AS dan sekutunya. Mutaqqi mengatakan, pejabat AS juga berjanji mereka akan mengirimkan bantuan kemanusiaan dan vaksin Covid-19.

Dalam pertemuan tersebut, Taliban juga mendesak Amerika Serikat untuk memberikan akses terbatas ke cadangan negara Afganistan yang tersimpan di bank sentral mereka, Da Afghanistan Bank (DAB). Kendati sudah mengambalih kekuasaan, Taliban masih belum bisa mengakses aset negara Afganistan sekiar US$10 miliar yang dipegang bank sentral mereka karena banyak tersimpan di luar negeri.

Namun, AS menegaskan bahwa aset bank sentral Afghanistan tidak bisa diberikan kepada Taliban sementara Dana Moneter Internasional (IMF) sudah mengatakan mereka tidak akan memberikan askes pinjaman ke negara tersebut. Padahal, Afghanistan tengah dilanda krisis pangan karena tidak adanya dana.

Washington dan negara-negara Barat lainnya sedang bergulat dengan pilihan sulit karena krisis kemanusiaan yang parah tampak besar di Afghanistan. Mereka mencoba mencari cara untuk terlibat dengan Taliban tanpa memberikan kelompok itu legitimasi yang dicarinya, sambil memastikan bantuan kemanusiaan mengalir ke negara itu.