Gubernur Bank Sentral Cina Klaim Mampu Kendalikan Krisis Evergrande

123rf.com
Ilustrasi. Krisis utang Evergrande memicu kekhawatiran meluasnya masalah ke pengembang lain karena Presiden Xi Jinping mempertahankan langkah-langkah ketat untuk mendinginkan pasar properti.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
18/10/2021, 09.27 WIB

Gubernur bank sentral Cina (PBoC) Yi Gang mengklaim dapat menahan risiko yang ditimbulkan dari krisis utang Evergrande. Gagal bayar utang raksasa properti Cina itu telah memicu kekhawatiran pasar bahwa terjadinya dampak rembetan ke ekonomi dan sistem keuangan yang lebih luas.

Yi mengakui krisis Evergande telah meminimbulkan sedikit kekhawatiran. "Meski begitu, secara keseluruhan kami dapat menahan risiko Evergrande," ujarnya dalam pertemuan Group of 30 seperti dikutip dari Bloomberg, Minggu (17/10).

Ia mengatakan, hak dan kepentingan kreditur serta pemegang saham akan dihormati sepenuhnya sesuai dengan hukum. Selain itu, menurut dia, undang-undang yang ada juga sudah mengatur soal preferensi posisi senioritas utang.

Yi kemudian menyebut, upaya lain yang dilakukan pemerintah yakni dengan melindungi konsumen, terutama pembeli properti. Dengan berbagai langkah tersebut, ia mengatakan risiko sistemik dapat dicegah.

Selain Yi, pejabat bank sentral lainnya mulai buka suara untuk menenangkan pasar. Kepala Pasar Keuangan PBoC Zou Lan dalam konferensi persnya akhir pekan lalu juga sempat mengatakan krisis Evergrande dapat dikendalikan agar tidak menyebar ke sektor keuangan dan ekonomi yang lebih luas.

"Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan gagal mengelola bisnisnya dengan baik dan beroperasi dengan hati-hati di tengah perubahan kondisi pasar. Sebaliknya, mereka justru melakukan ekspansi dan diversifikasi secara masif," kata Yi.

Sebagai langkah antisipasif, menurut dia, bank sentral telah meminta kreditur untuk menjaga kreditnya ke sektor real estate agar tetap stabil dan teratur. Pihak berwenang dan pemerintah daerah disebut sedang menyelesaikan masalah ini dengan prinsip-prinsip berorientasi pada pasar dan aturan hukum.

Krisis utang Evergrande memicu kekhawatiran meluasnya masalah ke pengembang lain karena Presiden Xi Jinping mempertahankan langkah-langkah ketat untuk mendinginkan pasar properti. Kekhawatiran penularan meningkat selama dua minggu terakhir setelah default juga mengintai perusahaan properti lainnya, Fantasia Holdings Group dan Sinic Holdings Group.

Moody's Analytics belum lama ini juga merilis laporan yang mengungkap terdapat 12 perusahaan properti Cina lainnya yang sudah mengalami gagal bayar. Adapaun nilai gagar bayar 12 perusahaan tersebut mencapai US$ 3 miliar pada semester I 2021. Nilai tersebut berkontribusi 20% dari total gagal bayar utang korporasi Cina pada paruh pertama tahun ini.

Tanpa menyebut Evergande atau perusahaan properti lainnya yang tengah dihantam risiko gagal bayar, Yi juga sempat menyinggung bahwa risiko gagal bayar yang tengah terjadi di beberapa korporasi dikarenakan salah urus dan ekspansi yang sangat berbahaya.

Kondisi ini, menurutnya, telah memperlambat pemulihan ekonomi Cina. Pemulihan tampaknya semakin lemah di tengah berbagai risiko ekonomi mulai dari krisis Evergrande, hingga terbaru krisis energi yang berpotensi memukul sektor manufaktur negeri panda. Meski demikian, Yi mengatakan laju pemulihan ekonomi masih akan berlanjut dengan pertumbuhan 8% tahun ini.

“Momentum pertumbuhan agak berkurang. Pertumbuhan ekonomi sedikit melambat, tetapi lintasan pemulihan ekonomi tetap tidak berubah," kata Yi.

Selain itu, ia juga melihat indeks harga produsen (PPI) akan mulai melambat pada akhir tahun. Ini menandai berakhirnya masa panas inflasi PPI setelah mencapai laju level tertingginya dalam 26 tahun terakhir pada bulan lalu.

"Indeks harga produsen akan tetap tinggi selama beberapa bulan, sebelum tekanan ke atas berkurang pada akhir tahun ini," kata Yi.

Sementara itu, indeks harga konsumen (IHK) dinilai tetap moderat. Inflasi bulan lalu sebesar 10,7% year-on-year (yoy) merupakan yang tertinggi sejak November 1995. Yi menyebut kenaikan harga-harga disebabkan karena adanya lonjakan harga bahan baku.

Sementara itu, ia melihat ekonomi secara keseluruhan tetap terkendali dan bisnis telah kembali seperti biasa meski sedikit melambat. Hal ini karena menurutnya pandemi Covid-19 di negeri panda itu sudah mulai terkendali.

 

Reporter: Abdul Azis Said