Presiden Joko Widodo bertemu dengan Perdana Menteri Slovenia Janez Janza pada sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim COP26 di Scottish Event Campus, Glasgow. Dalam pertemuan tersebut, Jokowi menyampaikan kebijakan diskriminatif Uni Eropa terkait sawit.
"Presiden kembali sampaikan concern (keprihatinan) terhadap kebijakan diskriminatif terhadap sawit," kata Menteri Luar Negeri Retno L. P. Marsudi dalam keterangannya, Selasa (2/11).
Namun, Retno tidak memerinci hal apa saja yang disampaikan Jokowi terkait kebijakan sawit tersebut. Adapun, kekhawatiran itu disampaikan lantaran Slovenia tengah memegang Presidensi Uni Eropa hingga Desember 2021.
Dalam kesempatan itu, Jokowi berharap negosiasi Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA) akan segera diselesaikan. Saat ini, I-EU CEPA telah memasuki negosiasi putaran ke-11 dan akan diselesaikan pada musim gugur mendatang.
Kepala Negara juga menyampaikan upaya peningkatan kerja sama Indonesia dan Uni Eropa dengan Presiden Perancis dan Presiden Dewan Eropa pada sela-sela KTT G20. Nantinya, Perancis akan memegang Presidensi Uni Eropa mulai 1 Januari 2022.
Selain membahas kerja sama dengan Benua Biru, Jokowi juga mendiskusikan upaya penguatan kerja sama Indonesia dengan Slovenia. Slovenia pun memberikan perhatian besar terhadap Indonesia.
Slovenia mengatakan, Indonesia merupakan negara dengan ekonomi yang terus tumbuh dan menyimpan banyak potensi. "Oleh karena itu, sudah sepantasnya Uni Eropa memberikan perhatian lebih kepada Indonesia," kata Retno.
Pada Desember 2019 lalu, pemerintah Indonesia menggugat kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasi dan membatasi akses pasar minyak kelapa sawit dan biofuel Indonesia.
Dampaknya, ekspor produk kelapa sawit Indonesia di pasar Uni Eropa menjadi negatif dan citra komoditas ini terus buruk di perdagangan global.
Kebijakan RED II ini mewajibkan Uni Eropa menggunakan bahan bakar dari energi yang dapat diperbarui mulai 2020 hingga 2030. Dalam aturan turunannya, Delegated Regulation, minyak kelapa sawit dikategorikan sebagai Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi.