Ekspor Cina Loyo di Tengah Tekanan Covid-19 dan Krisis Energi

ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie/aww.
Ilustrasi. Ekspor Cina pada Oktober 2021 melambat secara sebesar 1,8% dibandingkan US$ 305,74 miliar pada September.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
8/11/2021, 10.26 WIB

Lonjakan kasus Covid-19 dan masalah krisis energi ikut memukul kinerja ekspor Cina bulan lalu. Ekspor Cina tumbuh melambat, sedangkan impor menguat.

Ekspor Cina pada Oktober tercatat US$ 300,2 miliar atau naik  27,1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kinerja ini lebih lambat dari pertumbuhan bulan sebelumnya 28,1%, tetapi di atas perkiraan Bloomberg sebesar 22,7%. Ekspor Cina juga hanya tumbuh 1,8% dibandingkan US$ 305,74 miliar pada September. I

Sementara itu, impor naik 20,6% pada Oktober dari tahun sebelumnya menjadi US$ 215,68 miliar, lebih baik dari pertumbuhan 17,6% pada September tetapi masih di bawah perkiraan sebesar 26,6%.

Dengan kinerja tersebut, Negeri Tirai Bambu tersebut berhasil mencetak surplus neraca dagang sebesar US$ 84,54 miliar bulan lalu. Ini lebih besar dari surplus bulan sebelumnya US$ 66,76 miliar.

Momentum pemulihan di ekonomi terbesar kedua dunia itu telah melemah dalam beberapa bulan terakhir. Pemadaman listrik akibat krisis energi menambah tekanan lebih lanjut ke sektor manufaktur.

Perlambatan kinerja ekspor seiring pertumbuhan ekonomi yang juga melambat dari kuartal sebelumnya. Ekonomi Cina hanya tumbuh 4,9% pada kuartal ketiga, turun dari 7,9% pada kuartal sebelumnya.

Pemerintah Cina akhir bulan lalu juga mulai memberlakukan lockdown atau aturan penguncian di sejumlah wilayah. Pejabat Beijing membatasi akses ke lokasi wisata dan mengimbau kepada warga untuk tidak bepergian ke luar kota kecuali jika mendesak. Langkah ini diambil sebagai upaya menekan penyebaran virus sebelum Olimpiade musim dingin digelar awal Februari 2022.

Keputusan ini turut berdampak kepada ekspansi sektor manufaktur Cina yang juga melambat. Hal ini terindikasi dari output pada September tumbuh pada laju terendah sejak Maret 2020 karena pembatasan wilayah, pemadaman listrik bergilir, dan harga bahan baku yang lebih tinggi.

Beberapa subindeks dalam Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Cina juga masih lemah. Subindeks produksi turun menjadi 48,4 poin pada bulan lalu, dari 49,5 bulan sebelumnya. Sementar subindeks untuk pesanan baru juga terkontraksi selama tiga bulan berturut-turut menjadi 48,8 pada Oktober 2021.

Kendati demikian, indeks PMI Manufaktur Cina secara keseluruhan menguat dalam tiga bulan terakhir. Setelah terkontraksi pada Agustus 2021, indeks dua bulan terakhir sudah berbalik ekspansi. Indeks PMI manufaktur pada Oktober sebesar 50,6 poin.

Kepala Ekonom ING Wholesale Banking untuk wilayah Cina Iris Pang memperkirakan ekspor Cina akan tetap kuat dua bulan terakhir tahun ini. Penguatan ekspor terutama didorong oleh membaiknya permintaan global, sementara kinerja impor kemungkinan akan terhambat oleh biaya pengiriman yang tinggi dan masalah rantai pasok yang belum terselesaikan.

Pang mengatakan ada beberapa risiko penurunan pada indikator ekonomi Cina lainnya. Penjualan ritel diperkirakan akan lemah terdampak oleh lonjakan kasus Covid-19 belum lama ini.

"Produksi industri juga akan terpengaruh oleh kekurangan chip. Perubahannya mungkin tidak terlihat jika dianalisisi bulan ke bulan, tetapi dari tahun ke tahun itu signifikan,” kata Pang seperti dikutip dari South China Morning Post, Minggu (7/11).

Sementara itu, Cina kembali mencetak surplus yang tinggi dengan rivalnya, Amerika Serikat. Impor Cina dari AS hanya naik 4% menjadi US$ 13,02 miliar, sedangkan ekspornya tumbuh 22,7% menjadi US$ 53,77%. Dengan demikian Cina mencatat surplus US$ 40,75% dengan AS bulan lalu, naik 30%.

Pengiriman barang ke AS tetap kuat sekalipun hubungan kedua negara itu kembali memanas setelah Cina dianggap gagal memenuhi kesepakatan dagangnya dengan AS/ Perwakilan Kementerian Perdaganagn AS Katherine Tai bulan lalu mengatakan akan mengecualikan beberapa impor Cina dari insentif tarif bea masuk.

Hal tersebut untuk menekan Beijing agar menepati janjinya dalam perjanjian dagang fase satu yang ditandatangani awal tahun lalu. Kesepakatan itu mencakup janji untuk membeli barang-barang AS senilai US$ 200 miliar dalam dua tahun usai perjanian disepakati.

Ekonomi Cina hanya tumbuh sebesar 4,9%. Kinerja pertumbuhan ekonomi Tiongkok ini merupakan yang terendah sepanjang tahun ini. 

Reporter: Abdul Azis Said