Risiko rembeta atau spill over dari krisis utang raksasa properti Evergande di Cina belum sepenuhnya hilang. Bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve melihat adanya potensi rembetan krisis utang tersebut ke perekonomian global, tidak terkecuali AS.
Peringatan tersebut dikeluarkan dalam laporan stabilitas keuangan terbaru The Fed. Laporan tersebut menjelaskan, krisis Evergande dapat memukul sistem keuangan Cina. Rembetan masalah dapat terjadi akrena Cina merupakan ekonomi terbesar kedua dunia dan memiliki hubungan dagang yang kompleks dengan negara-negara lain, termasuk AS.
"Tekanan keuangan di Cina dapat membebani pasar keuangan global melalui penurunan sentimen risiko, menimbulkan risiko terhadap pertumbuhan ekonomi global, dan mempengaruhi Amerika Serikat," kata The Fed dikutip dari South China Morning Post, Selasa (9/11).
Pernyataan itu muncul kurang dari dua bulan setelah Gubernur The Fed Jerome Powell meremehkan potensi risiko penularan dari Evergrande di konferensi persnya akhir September. Saat itu, Powell mengatakan masalah Evergrande mungkin berefek 'khusus' hanya di domestik Cina. Ia tidak melihat adanya risiko limpahan ke korporasi AS.
Pengembang Cina Evergrande yang menumpuk utang segunung telah mengguncang investor global karena perusahaan berulang kali terancam default atau gagal bayar. Perusahaan diketahui memiliki utang senilai US$ 308 miliar atau setara Rp 4.395 triliun (kurs Rp 14.270 per US$).
Pengembang asal Shenzen itu dikabarkan telah berhasil menghindari default pada utangnya dengan melunasi tagihan kupon obligasi luar negerinya bulan lalu. Evergande telah memenuhi kewajiban pembayaran bunga obligasi luar negerinya senilai US$ 83,5 juta atau sekitar Rp 1.183 triliun yang dijadwalkan jatuh tempo 23 Oktober 2021.
Kendati demikian kekhawatiran pasar tidak sebatas pada masalah Evergande. Sentimen terhadap industri properti CIna memburuk di tengah banyak pengembang lainnya seperti Fantasia Holding Group dan Sinic Holdings Group yang telah melewatkan pembayaran kupon utangnya. Sehingga menambah kekhawatiran dampak yang lebih luas di ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
Dari dalam negeri, Gubernur BI Perry Warjiyo menilai krisis utang perusahaan raksasa Cina Evergande tak akan berdampak terhadap industri keuangan dan properti di Indonesia. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyebut kondisi properti di Indonesia masih jauh dari kondisi bubble atau gelembung ekonomi yang membesar dalam waktu singkat.
Perry mengatakan saat ini pasokan properti masih lebih tinggi dibandingkan permintaan. Meski begitu, permintaan properti mulai naik, terlihat dari penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR) pada September yang tumbuh 8,67%. Pertumbuhan ini bahkan lebih tinggi dari penyaluran kredit secara keseluruhan yang naik 2,21%.
Perry menyebut kekhwatiran terhadap krisis Evergrande memberi sentimen negatif ke pasar keuangan negara berkembang termasuk Indonesia hanya sementara. Hal ini terlihat dari data aliran investasi portofolio sepanjang kuartal III 2021, mencatat arus dana masuk bersih atau net inflow US$ 1,3 miliar.
"Ini membuktikan bahwa kepercayan investor asing kepada saham maupun SBN masih tetap tinggi," kata Perry dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur bulan lalu.