Menolak Divaksinasi Covid-19, Warga Austria Akan Kena Denda Rp 57 Juta
Pemerintah Austria akan memberikan denda mencapai 3.600 euro atau sekitar Rp 57 juta kepada warganya yang menolak divaksinasi Covid-19 mulai tahun depan. Denda bahkan juga akan dikenakan kepada warga yang menolak suntikan booster atau dosis menguat sebesar 1.500 euro atau setara Rp 24 juta.
Mengutip Bloomberg, denda ini merupakan bagian dari langkah pemerintah untuk meningkatkan cakupan vaksinasi. Austria kini sedang bergulat dengan lonjakan kasus dan kembali memberlakukan karantina atau lockdown.
Sebelum mengenakan denda, pihak berwenang akan menawarkan pertemuan dengan orang-orang yang belum mendapatkan suntikan vaksin Covid-19. Denda baru akan dikenakan pada Februari 2022 jika mereka masih menolak vaksinasi.
Austria akan menjadi negara Eropa Barat pertama yang mewajibkan vaksinasi virus corona. Negara ini mencatatkan inokulasi terendah di kawasan tersebut dengan tingkat vaksinasi 66% dari total populasi yang memenuhi syarat. Beberapa negara yang juga mencatatkan tingkat vaksinasi rendah tengah mangalami gelombang baru penyebaran virus.
“Juga akan ada denda hingga 1.500 euro untuk yang menolak suntikan booster,” kata Menteri Konstitusi Austria Karoline Edtstadler.
Ia mengatakan pemerintah bukan hanya ingin warganya mendapatkan suntikan pertama tetapi memperoleh dosis penuh vaksin Covid-19.
Sudah ada protes terhadap langkah-langkah baru pemerintah, yang mencakup penguncian nasional yang dimulai pada hari Senin. Sekitar 40.000 orang berkumpul di Wina pada hari Sabtu dipimpin oleh Partai Kebebasan sayap kanan.
Aksi demonstrasi juga terjadi di sebagian besar nergara Eropa lainnya seperti Belanda, Kroasia, Prancis hingga Italia. Beberapa berujung dengan kerusuhan.
Polisi dan pengunjuk rasa bentrok di jalan-jalan Brussels pada hari Minggu (21/11) dalam demonstrasi atas pembatasan Covid-19 yang diberlakukan pemerintah. Polisi menembakkan meriam air dan gas air mata ke demonstran yang melemparkan batu dan bom asap.
Demonstrasi yang berujung kerusuhan terjadi setelah Belgia memperketat pembatasan virus corona pada hari Rabu (17/11). Pemerintah negara tersebut mengamanatkan penggunaan masker yang lebih luas dan mengimbau warga untuk bekerja dari rumah rumah setelah kasus meningkat dan memasuki gelombang ke-empat Covid-19.
Selain Belgia, kerusuhan terjadi di sejumlah kota di Belanda seiring warga yang melakukan aksi demonstrasi untuk menolak penguncian wilayah atau lockdown secara total maupun sebagian di negara tersebut.
Pemerintah Belanda juga dilaporkan menerapkan kebijakan paspor vaksin Covid-19 atau "corona pass" dan melarang acara kembang api pada malam pergantian tahun. Saat ini, Belanda telah menerapkan penguncian wilayah sebagian (partial lockdown) yang telah berlangsung selama tiga pekan.
Di Italia, beberapa ribu pengunjuk rasa berkumpul di tempat balap kereta Circus Maximus kuno di Roma untuk menentang kewajiban sertifikat 'Green Pass' di tempat kerja, tempat umum dan di transportasi umum.
Sementara itu, pihak berwenang Prancis mengirim lusinan petugas polisi lagi untuk meredakan kerusuhan di pulau Guadeloupe di Karibia. Kerusuhan yang terjadi melibatkan para penjarah yang mengobrak-abrik puluhan toko dan membakar pertokoan saat melakukan protes.
Menteri Dalam Negeri Prancis, Gérald Darmanin mengatakan bahwa beberapa yang terlibat dalam kerusuhan menggunakan peluru tajam untuk melawan penegakan hukum, dan menjanjikan tanggapan tegas bagi mereka yang melakukan kekacauan publik.
Statistik data Covid-19 di Eropa awal pekan ini masih menggambarkan situasi yang belum baik seiring masih tingginya angka kematian Covid-19 di sebagian besar negara. Pekan ini, 25 negara masih mencatatkan penambahan kematian dan 14 negara lainnya mencatatkan kematian namun dengan jumlah yang lebih kecil.