WHO: Gejala Omicron Tak Separah Delta, Bahaya Jika Belum Vaksinasi

photos.hq.who.int
Ilustrasi. WHO mencatat, lebih dari 90 negara belum memenuhi target vaksinasi 40% dari populasi mereka dan lebih dari 85% orang di Afrika belum menerima dosis pertama vaksin.
Penulis: Agustiyanti
13/1/2022, 06.26 WIB

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, varian Omicron menyebabkan penyakit yang lebih ringan daripada Delta. Namun, varian ini tetap masih menjadi virus yang berbahaya, terutama bagi mereka yang tidak divaksinasi Covid-19.

Direktur Jenderal Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, lebih dari 90 negara belum memenuhi target vaksinasi 40% dari populasi mereka dan lebih dari 85% orang di Afrika belum menerima dosis pertama vaksin.

"Kita tidak boleh membiarkan virus ini menyebar dengan bebas atau mengibarkan bendera putih, terutama ketika begitu banyak orang di seluruh dunia belum  divaksinasi," katanya.

Dalam laporan epidemiologi mingguannya pada hari Selasa, WHO mengatakan kasus meningkat sebesar 55%, atau 15 juta dalam sepekan hingga 9 Januari dibandingkan pekan sebelumnya. Ini adalah kasus mingguan terbanyak sejak dilaporkan.

“Lonjakan besar dalam infeksi ini didorong oleh varian Omicron, yang dengan cepat menggantikan Delta di hampir semua negara," kata Tedros.

Dia mengatakan mayoritas orang yang dirawat di rumah sakit di seluruh dunia dengan Covid-19 tidak divaksinasi. Adapun jika penularan tidak dibatasi, ada risiko lebih besar dari varian lain yang muncul yang bahkan bisa lebih menular, dan lebih mematikan daripada Omicron.

Sejumlah bukti menunjukkan Omicron lebih mempengaruhi saluran pernapasan bagian atas dibandingkan paru-paru. Oleh karena itu, gejala Omicron lebih ringan daripada varian sebelumnya. Namun, WHO sebelumnya menekankan masih perlu lebih banyak penelitian untuk membuktikan ini. 

Lembaga ini juga sebelumnya menegaskan, belum waktunya varian ini diperlakukan seperti endemik layaknya flu biasa. "Kami masih memiliki sejumlah besar ketidakpastian dan virus yang berkembang cukup cepat, memberikan tantangan baru. Kami tentu tidak dapat menyebutnya endemik," kata Petugas darurat senior WHO untuk Eropa, Catherine Smallwood, dikutip dari Reuters, Rabu (12/1).

Menurut dia, Covid-19 mungkin akan menjadi endemik pada waktunya. Namun, sulit menentukan apakah ini dapat terwujud pada tahun ini.

Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez memperkirakan sudah waktunya mengubah cara melacak evolusi Covid-19 dengan metode yang mirip dengan flu. Hal ini lantaran tingkat kematian akibat corona telah menurun. Metode ini berarti memperlakukan virus sebagai penyakit endemik dengan tidak mencatat setiap kasus dan tidak menguji semua orang yang menunjukkan gejala.

Eropa mendeteksi lebih dari 7 juta kasus baru yang dilaporkan pada minggu pertama 2022. Direktur WHO Eropa Hans Kluge mengatakan, jumlah itu mencapai lebih dari dua kali lipat selama periode dua minggu.

"Pada tingkat ini, Institut Metrik dan Evaluasi Kesehatan memperkirakan lebih dari 50% populasi di wilayah tersebut akan terinfeksi Omicron dalam 6-8 minggu ke depan," kata Kluge, merujuk pada pusat penelitian di University of Washington.

Kementerian Kesehatan memperkirakan puncak kasus varian Omicron di Indonesia terjadi pada bulan depan. "Prediksinya pada minggu pertama dan kedua Februari," kata Juru Bicara Vaksin Covid-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi kepada Katadata.co.id, Selasa (11/1).

Kemenkes memperkirakan kasus Covid-19 bisa lebih rendah dari kisaran 20 ribu-25 ribu kasus per hari. Di sisi lain, masih ada potensi kasus harian mencapai 50 ribu kasus per hari.

Kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat dalam beberapa hari terakhir. Pada Kamis (13/1), pasien Covid-19 bertambah 646 orang per 12 Januari 2022. Total Kasus mencapai 4.268.097 dengan 4.116.962 pasien dinyatakan sembuh dan 144.150 orang meninggal dunia.