Sri Lanka Butuh Rp 43 Triliun untuk Mencegah Krisis Makin Buruk

ANTARA FOTO/REUTERS/Dinuka Liyanawatte/WSJ/cf
Pengunjuk rasa meneriakkan slogan protes terhadap Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa di dekat Sekretariat Kepresidenan, di tengah krisis ekonomi yang melanda negeri tersebut, di Kolombo, Sri Lanka, Sabtu (9/4/2022).
Penulis: Agustiyanti
10/4/2022, 11.46 WIB

Sri Lanka diperkirakan membutuhkan dana bantuan mencapai US$ 3 miliar atau setara Rp 43 triliun membantu memulihkan pasokan barang-barang penting, termasuk bahan bakar dan obat-obatan.

Negara kepulauan berpenduduk 22 juta orang itu telah dilanda pemadaman listrik dan kekurangan listrik yang memicu engunjuk rasa turun ke jalan dan menempatkan Presiden Gotabaya Rajapaksa di bawah tekanan.

"Ini tugas yang sangat besar," kata Menteri Keuangan Sri Lanka Ali Sabry  dalam wawancara pertamanya kepada Ruters sejak menjabat minggu ini.

Ia merujuk pada pendanaan jembatan senilai US$  3 miliar saat negara itu bersiap untuk negosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF) bulan ini. Sri Lanka akan berupaya untuk merestrukturisasi obligasi globalnya dan meminta moratorium pembayaran, Ia yakin dapat bernegosiasi dengan pemegang obligasi atas pembayaran US$ 1 miliar yang jatuh tempo pada bulan Juli.

"Seluruh upaya ini, bukan untuk melakukan default yang sulit. Kami memahami konsekuensi dari default," kata dia. 

Analis J.P. Morgan pada pekan ini memperkirakan bahwa pembayaran utang bruto Sri Lanka akan mencapai $7 miliar pada tahun ini. Sementara defisit transaksi berjalan diperkirakan sekitar $3 miliar.

Data Bank Sentral menunjukkan, negara ini memiliki US$ 12,6 miliar obligasi global yang beredar dan cadangan devisa US$ 1,9 miliar pada akhir Maret.

"Prioritas pertama adalah mengembalikan pasokan kebutuhan kembali normal, dalam hal bahan bakar, gas, obat-obatan dan demikian dengan listrik sehingga pemberontakan rakyat dapat diatasi," kata Sabry.

IMF mengatakan pada Sabtu (9/10) bahwa mereka telah memulai keterlibatan tingkat teknis dengan Kementerian Keuangan Sri Lanka dan pejabat bank sentral untuk program pinjaman. IMF juga menyatakan sangat prihatin tentang krisis yang sedang berlangsung.

"Kami berkomitmen untuk membantu Sri Lanka konsisten dengan kebijakan kami, dan akan terlibat dalam diskusi tentang kemungkinan program dengan pembuat kebijakan senior dalam beberapa hari dan minggu mendatang," Masahiro Nozaki, kepala misi IMF untuk Sri Lanka, mengatakan kepada Reuters dalam sebuah pernyataan.

Protes anti-pemerintah telah berkecamuk di seluruh negara pulau ini selama berhari-hari. Setidaknya satu aksi protes berubah menjadi kekerasan di ibu kota komersial Kolombo, menimbulkan ancaman terhadap industri pariwisata yang menjadi penopang ekonomi negara tersebut.

Ribuan pengunjuk rasa berkumpul di dekat kantor presiden di pinggir laut di Kolombo pada Sabtu (9/4), aksi terbesar dalam beberapa hari terakhir.

Para pengunjuk rasa termasuk puluhan Muslim yang duduk di tengah jalan, melakukanblokade untuk berbuka puasa Ramadan sembari mendesak presiden untuk mundur.

Sabry mengatakan, dia akan memimpin delegasi pejabat Sri Lanka ke Washington untuk memulai pembicaraan dengan IMF pada 18 April. Penasihat keuangan dan hukum akan dipilih dalam 21 hari untuk membantu pemerintah merestrukturisasi utang internasionalnya.

Bank Sentral Sri Lanka yang baru dipimpin gubernur baru menaikkan suku bunga sebesar 7%. Kenaikan yang belum pernah terjadi sebelumnya ini merupakan upaya untuk menjinakkan inflasi yang meroket dan menstabilkan ekonomi.

Otoritas Sri Lanka juga akan menjangkau lembaga pemeringkat. Sabry mengatakan, mereka berupaya mendapatkan kembali akses ke pasar keuangan internasional setelah dikunci karena beberapa penurunan peringkat sejak 2020.

Dia mengatakan, pemerintah akan menaikkan pajak dan harga bahan bakar dalam waktu enam bulan dan berusaha untuk mereformasi badan usaha milik negara yang merugi. Langkah-langkah ini termasuk di antara rekomendasi utama dalam tinjauan IMF terhadap ekonomi Sri Lanka yang dirilis pada awal Maret.

"Ini adalah tindakan yang sangat tidak populer, tetapi ini adalah hal-hal yang perlu kami lakukan agar negara dapat keluar dari ini," kata Sabry.

Dia mengatakan Sri Lanka akan mencari jalur pinjaman baru dari India US$ 500 juta untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar, yang akan cukup untuk sekitar lima minggu. Pemerintah juga akan mencari dukungan dari Bank Pembangunan Asia, Bank Dunia dan mitra bilateral termasuk Cina, Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara di Timur Tengah.

Diskusi sedang berlangsung dengan Cina mengenai batas pinjaman US$ 1,5 miliar, pinjaman sindikasi hingga US$ 1 miliar dan permintaan dari presiden Sri Lanka pada Januari untuk merestrukturisasi beberapa utang.

"Mudah-mudahan kami bisa mendapatkan bantuan yang akan membantu, hingga bantuan yang lebih besar masuk," katanya.

Beijing dan New Delhi telah lama berebut pengaruh atas pulau di ujung selatan India. Negara semakin dekat ke Cina di bawah keluarga Rajapaksa yang kuat. Namun dalam beberapa pekan terakhir, ketika krisis ekonomi semakin dalam, Sri Lanka sangat bergantung pada bantuan dari India.

"Kami adalah negara netral, kami adalah teman semua," ujarnya. 

Sri Lanka sedang dilanda kerusuhan besar akibat krisis ekonomi yang terjadi di negara tersebut. Sebelum dilanda krisis, Produk Domestik Bruto (PDB) Sri Lanka menempati urutan keempat terbesar di Asia Selatan dengan nilai US$ 80,67 miliar pada 2020. Jumlah ini turun 3,95% dari PDB-nya pada 2019 yang berjumlah US$83,99 miliar.