Rusia Tambah Dana Darurat Rp 50 Triliun Demi Selamatkan Ekonomi

123rf/andreyphoto63
Ilustrasi. Sumber utama untuk peningkatan dana cadangan Rusia akan berasal dari tambahan pendapatan energi pada kuartal pertama sebesar 271,6 miliar rubel atau setara US$ 3,49 miliar.
Penulis: Agustiyanti
11/4/2022, 14.19 WIB

Pemerintah Rusia memutuskan untuk menambah dana cadangan sebesar US$ 3,52 miliar atau setara Rp 50,5 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.360 per dolar AS. Dana tersebut digunakan sebagai dana darurat untuk menjaga ekonomi di tengah masih berlanjutnya sanksi yang dijatuhkan oleh Amerika dan sekutu imbas perang di Ukraina.

"Dana tersebut antara lain akan digunakan untuk melaksanakan langkah-langkah yang bertujuan untuk memastikan stabilitas ekonomi dalam kaitannya dengan sanksi eksternal," kata pemerintah dalam sebuah pernyataan dikutip dari Reuters, Minggu (10/4).

Dana cadangan pemerintah merupakan bantalan kas yang akan digunakan untuk belanja tak terduga yang tidak diproyeksikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada tahun lalu, dana cadangan itu digunakan untuk pembayaran program sosial dan untuk menangani pandemi.

Pemerintah Rusia mengatakan bahwa sumber utama untuk peningkatan dana cadangan tersebut berasal dari tambahan pendapatan energi pada kuartal pertama sebesar 271,6 miliar rubel atau setara US$ 3,49 miliar. Pemerintah Rusia juga menikmati windfall berkat kenaikan harga minyak dan gas karena pemulihan dari dampak Covid-19 dan konflik Rusia-Ukraina yang meningkat risiko gangguan rantai pasok.

Rusia memasok sekitar 40% dari konsumsi gas alam Uni Eropa. Menurut Badan Energi Internasional, nilai ekspornya mencapai lebih dari US$ 400 juta per hari. Uni Eropa mendapat sepertiga dari impor minyaknya dari Rusia atau sekitar US$ 700 juta per hari.

Upaya peningkatan dana cadangan pemerintah Rusia ini merupakan imbas pemburukan di ekonomi Rusia setelah dijatuhi sanksi-sanksi negara barat. Berbagai sanksi tersebut berupa pemutusan akses sistem keuangan Rusia ke pasar global, termasuk memutus akses pasokan perdagangan. Negara-negara barat juga bergerak menuju upaya larangan impor energi dari Rusia, seperti yang sudah dilakukan Amerika. Langkah Eropa menyetop impor minyak dari Rusia akan mengganggu sumber pendapatan terbesar negara beruang merah itu.

Pada akhir pekan lalu, Uni Eropa menambah beberapa sanksi untuk Rusia, termasuk dimulainya larangan impor energi dari Rusia.  Salah satu sanksi tersebut, yakni melarang impor semua bentuk batu bara dari Rusia.

"Hal ini mempengaruhi seperempat dari semua ekspor batu bara Rusia, dengan kerugian sekitar 8 miliar euro terhadap pendapatan negara Rusia per tahun," kata Komisi Eropa dalam keterangannya.

Larangan impor beberapa produk, seperti semen, produk karet, kayu, minuman beralkohol, minuman keras, makanan laut kelas atas, tindakan anti-penghindaran terhadap impor kalium dari Belarus juga diperpanjang. Larangan impor beberapa komoditas ini bernilai 5,5 milia euro.

Di samping itu, Eropa juga melarang ekspor beberapa komoditas tertentu yang dinilai sangat dibutuhkan Rusia seperti komputasi kuantum, semikonduktor canggih, transportasi dan bahan kimia. Larangan ini bernilai 10 miliar euro dan berdampak terutama pada penurunan kapasitas industri Rusia. Selain itu, larangan ekspor juga berlaku untuk bahan bakar jet yang dipergunakan tentara Rusia.

Uni Eropa juga melarang transaksi dan membekukan aset di empat bank Rusia. Keempat bank tersebut mewakili 23% pangsa pasar sektor perbankan di Rusia sehingga sanksi ini bisa menambah beban bagi sistem keuangan Rusia. Uni Eropa juga memblokir akses transportasi Rusia di Eropa, hingga mengecualikan Rusia dari kontrak publik dan pembatasan dukungan finansial atau non-finansial untuk entitas yang dimiliki publik Rusia.

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) resmi menangguhkan status keanggotaan Rusia dari Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB pada Kamis (7/4). 

Penangguhan ini dilakukan setelah Rusia dianggap melakukan pelanggaran berat HAM di Ukraina, dan mayoritas negara anggota PBB mendukung penangguhan tersebut.

Reporter: Abdul Azis Said