Kronologi Wartawan Al Jazeera Ditembak Mati Tentara Israel

ANTARA FOTO/REUTERS/Imad Creidi/pras/sad.
Jurnalis Al Jazeera, Shireen Abu Akleh terbunuh oleh tembakan tentara Israel menurut saluran berita di Qatar, yang ditampilkan di gedung markas Al-Jazeera, Doha, Qatar, Rabu (11/5/2022).
Penulis: Yuliawati
13/5/2022, 12.49 WIB

Kantor Berita Al Jazeera menuduh Israel membunuh salah satu jurnalis veterannya di Tepi Barat pada Rabu lalu. Jurnalis yang bernama Shireen Abu Akleh, keturunan Palestina-Amerika, 51 tahun, ditembak mati saat meliput serangan militer Israel di sebuah kamp pengungsi.

Abu Akleh terkenal di dunia Arab karena pemberitaannya tentang konflik dan kisah Israel-Palestina selama lebih dari tiga dekade. Upacara pemakaman Abu Akleh dihadiri ribuan warga Palestina di Ramallah, sehari setelah pembunuhannya.

Dikutip dari Time, Al Jazeera mengatakan Abu Akleh ditembak saat melaporkan operasi militer Israel di kamp pengungsi Jenin di Tepi Barat utara pada Rabu pagi. Dia ditembak di bagian kepala dan dibawa ke rumah sakit dalam kondisi kritis, dan kemudian meninggal dunia. Produsernya Ali al-Samoudi, yang tertembak di punggung, saat ini sedang menjalani perawatan intensif.

Al Jazeera mengatakan bahwa dia “dibunuh dengan darah dingin” oleh pasukan pendudukan Israel, yang “menargetkannya dengan tembakan langsung.” Awalnya militer Israel membantah tuduhan itu, tetapi Washington Post pada hari Kamis mengutip seorang pejabat yang mengatakan Israel sedang menyelidiki apakah tembakan fatal itu berasal dari tentaranya.

Israel awalnya menangkis tudingan dengan mengatakan kemungkinan pejuang Palestina yang bertanggung jawab atas kematian Abu Akleh. Israel mengatakan pasukannya membela diri dari “tembakan besar-besaran” di Jenin dan bahwa “ada kemungkinan, para wartawan terkena tembakan dari kelompok Palestina.”

Namun, versi ini dibantah wartawan yang menjadi saksi mata di lokasi. Menurut Al Jazeera, wartawan di lapangan mengatakan tidak ada pejuang Palestina yang hadir pada saat pembunuhan itu.

“Kami sedang merekam operasi tentara Israel dan tiba-tiba mereka menembak kami tanpa meminta kami untuk pergi atau berhenti merekam,” kata al-Samoudi, rekan Abu Akleh yang terluka.

Rekaman video yang diambil di tempat kejadian menunjukkan Abu Akleh mengenakan jaket pers yang mengidentifikasi dirinya sebagai jurnalis ketika dia ditembak.

Shatha Hanaysha, seorang jurnalis untuk Jaringan Berita Quds yang menyaksikan pembunuhan itu, mengatakan kepada Guardian bahwa Abu Akleh ditembak di kepala meskipun dia mengenakan helm. “Jadi jelas bahwa orang yang menembaknya bermaksud memukul bagian tubuhnya yang terbuka,” kata Hanaysha. "Ini adalah pembunuhan."

Profil Abu Akleh

Abu Akleh terkenal di dunia Arab karena pemberitaannya tentang konflik dan kisah Israel-Palestina yang telah berlangsung lebih dari tiga dekade. Setelah bergabung dengan AlJazeera pada 1997, ia meliput banyak titik nyala bersejarah di kawasan itu.

Termasuk peristiwa intifadeh kedua—pemberontakan Palestina lima tahun melawan Israel yang dimulai pada 2000—pertempuran Jenin pada 2002 dan kematian Yasser Arafat, Presiden Otoritas Nasional Palestina, pada 2004.

Dia dipuji atas komitmennya untuk meliput konflik dan kisah Palestina dan Israel. “Shireen adalah suara kami. Sungguh luar biasa,” kata anggota parlemen Palestina Khalida Jarrar kepada Al Jazeera.

Tamara Alrifai, juru bicara senior Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan kepada Guardian bahwa Abu Akleh telah menjadi bagian dari kisah Palestina. “Fakta bahwa dia telah meliput begitu banyak peristiwa badai tanpa cedera membuat kematiannya hari ini lebih mengejutkan.”

Upacara pemakaman Abu Akleh dihadiri ribuan warga Palestina di Ramallah, sehari setelah pembunuhannya. Peti matinya, terbungkus bendera Palestina, dibawa ke sebuah upacara di kompleks kepresidenan.

Kematian Abu Akleh menambah jumlah jurnalis yang terbunuh di Israel dan Palestina sejak 1992 menjadi 19 orang.  Adapun, berdasarkan data Institut Pers Internasional, kematian Abu Akleh menambah korban jurnalis di dunia yang terbunuh saat liputan menjadi 28 orang pada 2022. Pada Hari Kebebasan Pers Sedunia 3 Mei, Reporters Without Borders memperingatkan bahwa polarisasi media global telah meningkat dua kali lipat selama tahun lalu.