Jepang sedang mempertimbangkan untuk mengadakan pertemuan para menteri pertahanan (Menhan) dengan negara-negara Asia Tenggara atau Association of South East Asia Nation (ASEAN) pada akhir Juni di Kamboja. Pertemuan direncanakan berlangsung di sela-sela pertemuan Menhan ASEAN tahunan di Kamboja, yang akan dilangsungkan akhir Juni 2022.
Mengutip Kyodo News, Jumat (20/5), pertemuan dimaksudkan untuk membahas upaya melawan pelanggaran maritim yang dilakukan oleh Tiongkok selama beberapa tahun terakhir. Melalui pertemuan dengan Menhan negara-negara ASEAN, Jepang ingin menyoroti pentingnya menjaga ketertiban maritim berdasakan hukum internasional.
Sumber Kyodo News menyebutkan, Menhan Jepang Nobuo Kishi akan menyerukan penentangan terhadap segala upaya untuk mengubah status quo secara sepihak dengan paksa, dalam pertemuan dengan para Menhan ASEAN.
Jepang telah berusaha untuk meningkatkan hubungannya dengan negara-negara ASEAN di bidang pertahanan karena mereka terletak di wilayah strategis.
Hal ini dilakukan untuk menyikapi situasi Laut Cina Selatan, di mana beberapa anggota ASEAN memiliki sengketa wilayah dengan Tiongkok. Selain itu, pembicaraan yang akan diinisiasi oleh Jepang adalah soal pengembangan nuklir dan rudal Korea Utara.
Jepang akhir-akhir ini memperlihatkan tanda menjauhi dari sikap pasifis usai Perang Dunia II. Ini terlihat dari usulan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida kepada parlemen, untuk menaikkan anggaran pertahanan dari 1% menjadi 2%.
Lokasi Jepang menempatkannya di lingkungan keamanan yang semakin tidak stabil, yakni diapit oleh Tiongkok di selatan, Korea Utara yang memiliki senjata nuklir di barat dan Rusia di utara. Akibatnya, perang di Ukraina telah memicu perdebatan tentang keamanan nasional Jepang yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Mengutip CNN, Minggu (22/5), usulan peningkatan anggaran pertahanan ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan serangan balik. Usulan ini dipandang sebagai sebuah langkah yang menandai perubahan besar bagi Jepang, yakni menjauhi sikap pasifis yang sudah lama ada.
Selain meningkatkan investasi dalam bidang pertahanan, Jepang juga juga meningkatkan upaya diplomasi untuk memperkuat hubungannya di kawasan dan sekitarnya.
Menjelang pertemuan Kishida dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, yang direncanakan berlangsung Senin (23/5), para ahli mengatakan Jepang mengevaluasi kembali pendekatannya untuk pencegahan, dan menunjukkan dirinya sebagai mitra yang dapat diandalkan di panggung dunia.
Upaya Jepang menghalangi Tiongkok di kawasan Asia Timur, telah dilakukan sejak lama. Pada 2007 Perdana Menteri Jepang saat itu Shinzo Abe mengajak India bekerja sama dalam bidang pertahanan. Ini kemudian menjadi awal aliansi strategis antara Amerika Serikat (AS), Australia, Jepang dan India.
Upaya Jepang untuk menyatukan sekutu di kawasan Pasifik ini muncul ketika Tiongkok menyalip Jepang sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia. Tak lama kemudian, Tiongkok kemudian mempromosikan belt and road initiative (BRI), untuk mengembangkan rute perdagangan baru yang menghubungkan Tiongkok dengan dunia.
Lalu, Tiongkok juga mengklaim kedaulatan terhadap hampir semua dari 1,3 juta mil persegi kawasan di Laut Cina Selatan, dan telah mengubah banyak terumbu karang dan gundukan pasir, menjadi pulau buatan yang dijaga ketat dengan rudal, landasan pacu, dan sistem senjata.
Para pengamat khawatir bahwa ekspansi China pada akhirnya dapat memungkinkan Beijing untuk mengontrol jalur air di Laut China Selatan, mengancam arus perdagangan bebas, sehingga pada 2016, Abe meningkatkan gagasannya dan memperkenalkan konsep Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka atau free and open Indo-Pacific (FOIP).