Pembunuhan Shinzo Abe di Tengah Ketatnya Pemilikan Senjata di Jepang

ANTARA FOTO/REUTERS/Issei Kato/aww/cf
Ilustrasi, Bayangan pejalan kaki terlihat di depan layar raksasa yang memperlihatkan Mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe.
Penulis: Agung Jatmiko
9/7/2022, 10.21 WIB

Pembunuhan mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe telah mengejutkan Jepang, salah satu negara dengan tingkat kejahatan senjata terendah di dunia karena Undang-undang (UU) kepemilikan senjata yang ketat.

Seperti diketahui, Shinzo Abe ditembak pada Jumat (8/7) di kota Nara, saat menyampaikan pidato kampanye. Ia wafat setelah menjalani perawatan usai ditembak.

Mengutip CNN, Jumat (8/7), kejadian penembakan ini tergolong langka di Jepang. Menurut data yang dikumpulkan Sydney School of Public Health, University of Sydney, pada 2018, negara berpenduduk 125 juta jiwa tersebut, hanya melaporkan sembilan kematian akibat senjata api. Jumlah ini sangat jauh di bawah Amerika Serikat (AS), dengan 39.740 pada tahun yang sama.

Direktur Dewan Industri Keamanan Internasional Jepang Nancy Snow mengatakan, penembakan terhadap Shinzo Abe akan mengubah Jepang selamanya.

"Ini bukan hanya langka, tetapi juga benar-benar tak terduga, karena secara budaya, orang Jepang tidak dapat membayangkan memiliki budaya senjata seperti yang dimiliki oleh AS," kata Nancy.

Mengutip NHK, tersangka dalam penembakan hari Jumat adalah seorang pria lokal berusia 40-an, yang menggunakan senjata buatan tangan.

Melalui UU Senjata Api, satu-satunya senjata yang diizinkan untuk dijual di Jepang adalah senapan dan senapan angin. Sementara, pistol dilarang untuk diperjual belikan secara bebas. Bahkan, untuk mendapatkannya membutuhkan proses yang panjang dan rumit, yang membutuhkan usaha, dan banyak kesabaran.

Agar memenuhi syarat untuk mendapatkan lisensi senjata api, calon pembeli harus menghadiri kelas, lulus tes tertulis, dan tes jarak tembak dengan akurasi setidaknya 95%.

Mereka juga harus menjalani evaluasi kesehatan mental, dan tes narkoba, serta pemeriksaan latar belakang yang ketat, termasuk peninjauan catatan kriminal, utang pribadi, keterlibatan dalam kejahatan terorganisir, dan hubungan dengan keluarga dan teman.

Setelah mendapatkan senjata, pemilik harus mendaftarkan senjata mereka ke polisi dan memberikan rincian di mana senjata dan amunisi mereka disimpan, di kompartemen terpisah yang terkunci.

Pistol harus diperiksa oleh polisi setahun sekali, dan pemilik senjata harus mengikuti kelas dan mengikuti ujian setiap tiga tahun untuk memperbarui lisensi mereka.

Menurut Survei Senjata Kecil, pada 2017 hanya sekitar 377.000 senjata yang dipegang oleh warga sipil di Jepang. Di negara berpenduduk 125 juta jiwa, jumlah kepemilikan ini hanya 0,25 senjata per per 100 orang. Rasionya sangat kecil jika dibandingkan dengan AS, dengan rasio sekitar 120 senjata per 100 orang.

Penembakan publik terakhir yang dilakukan terhadap seorang politisi di Jepang, terjadi pada 2007. Saat itu, Walikota Nagasaki Iccho Ito, ditembak setidaknya dua kali di punggung dari jarak dekat oleh seorang tersangka yang merupakan anggota organisasi kejahatan. Iccho Ito meninggal setelah menderita serangan jantung.

Sejak itu, Jepang semakin memperketat kontrol senjatanya, menjatuhkan hukuman yang lebih berat untuk pelanggaran senjata yang dilakukan oleh anggota organisasi kejahatan terorganisir.

Hukum di Jepang menyebutkan, bahwa memiliki senjata sebagai bagian dari sindikat kejahatan terorganisir dapat dikenakan hukuman pidana hingga 15 tahun penjara.

Selain itu, memiliki lebih dari satu senjata juga merupakan kejahatan, yang juga dapat dipidana dengan hukuman penjara hingga 15 tahun. Hukuman berat juga dijatuhkan bagi seseorang yang melepaskan tembakan di tempat umum, yakni penjara seumur hidup.