Pasukan Israel dan kelompok militan Jihad Islam Palestina mengumumkan gencatan senjata pada Minggu malam, mengakhiri perang selama tiga hari. Gencatan senjata ini berlaku mulai pukul 23.30 waktu setempat.
Mengutip laporan Reuters, pertempuran di Jalur Gaza menyebabkan sedikitnya 44 warga Palestina tewas, termasuk 15 anak-anak. Sementara roket Palestina telah mengancam sebagian besar kawasan selatan Israel dan membuat penduduk di kawasan perkotaan, termasuk Tel Aviv dan Ashkelon, ke tempat penampungan.
Gencatan senjata ini meningkatkan harapan untuk mengakhiri gejolak paling serius di perbatasan Gaza, dalam kurun waktu lebih dari setahun terakhir.
Walaupun kedua pihak sepakat untuk menghentikan pertempuran, baik pasukan Israel dan Palestina, saling memperingatkan bahwa mereka akan membalas setiap aksi kekerasan.
Pemicu Perang Tiga Hari
Menyitir Aljazeera, penangkapan Al-Saadi pekan lalu di Tepi Barat menjadi salah satu pemicu utama meningkatnya ketegangan antara Palestina dengan Israel.
Setelah penangkapannya, pasukan Israel melancarkan operasi yang mereka sebut serangan "pre-emptive" di Jalur Gaza, untuk mencegah serangan balasan.
Komandan Jihad Islam, Taysir al-Jabari dan Khaled Mansour, masing-masing tewas dalam serangan pada Jumat (5/8) dan Sabtu (6/8) lalu.
Pasukan Israel juga menangkap 19 anggota Jihad Islam di kawasan Tepi Barat.
Menurut BBC, penangkapan Bassem Al-Saadi di Tepi Barat pada Senin (1/8) malam di daerah Jenin, merupakan bagian dari serangkaian operasi penangkapan oleh pasukan Israel.
Operasi tersebut berlangsung setelah gelombang serangan oleh orang-orang Arab dan Palestina Israel yang menewaskan 17 warga Israel dan dua warga Ukraina. Dua penyerang diketahui berasal dari distrik Jenin.
Sikap Indonesia
Menanggapi meningkatnya kekerasan di Gaza, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri mengutuk keras serangan yang dilakukan Israel di Gaza. "Mengakibatkan tewasnya masyarakat sipil, termasuk anak – anak," bunyi pernyataan resmi Kemlu RI dalam akun resmi Twitter, Minggu (7/8).
Indonesia juga mendorong agar PBB segera mengambil langkah nyata untuk menghentikan tindakan kekerasan dan agresi tersebut, untuk menghindari semakin banyaknya korban serta memburuknya situasi di kawasan.
Efek Perang Tiga Hari
Menyitir Aljazeera, Sejak Jumat (5/8), Israel telah melancarkan serangan bom secara besar-besaran ke Gaza, meratakan bangunan, dan menyerang kamp-kamp pengungsi. Militer Israel menyatakan serangan ditargetkan kepada anggota Jihad Islam, termasuk komandan senior kelompok itu.
Menurut pejabat Palestina, hampir setengah dari 44 orang yang tewas merupakan warga sipil. Selain itu, setidaknya 350 warga sipil lainnya juga terluka.
Sebagai balasan, kelompok Jihad Islam merespons dengan menembakkan ratusan roket ke Israel, tetapi sebagian besar berhasil dicegat atau diledakkan di udara. Layanan darurat Israel menyebutkan terdapat tiga warga Israel terluka akibat pecahan peluru, sementara 31 lainnya luka ringan.
Pertempuran ini menjadi yang terburuk di Gaza sejak Perang 11 Hari yang terjadi tahun lalu. Kala itu, perang menewaskan sedikitnya 250 warga Palestina dan sekitar 13 orang di Israel.
Gencatan Senjata
Gencatan senjata ini dimediasi Mesir, dengan bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Qatar.
Sekretaris Jenderal Jihad Islam, Ziad al-Nakhala, mengatakan salah satu perjanjian kunci adalah jaminan Mesir bahwa mereka akan bekerja untuk pembebasan dua pemimpin kelompok yang ditahan Israel.
“Jihad Islam menetapkan syarat-syaratnya. Pertama, menyatukan seluruh rakyat Palestina. Kedua, kami menuntut musuh membebaskan saudara kami yang melakukan mogok makan, Khalil Awawda, dan ketiga, membebaskan Sheikh Bassem al-Saadi,” kata al-Nakhala di ibu kota Iran, Teheran, seperti dikutip Aljazeera, Senin (8/8).
Mesir mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa mereka akan berupaya membebaskan Awawda dan bekerja untuk pembebasan Al-Saadi, "sesegera mungkin".
Israel tidak memberikan komentar terhadap ini.