Biden Tuduh OPEC Dukung Rusia Usai Pangkas Produksi Minyak 2 Juta bph

Reuters
Presiden AS Joe Biden menuding OPEC mendukung Rusia untuk terus bisa menjual minyaknya dengan harga tinggi dan membiayai perang di Ukraina.
6/10/2022, 17.31 WIB

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menuding organisasi negara-negara pengekspor minyak atau OPEC telah mendukung Rusia dengan memangkas rencana produksi minyak November hingga sebesar 2 juta barel per hari (bph).

Pasalnya pemangkasan produksi tersebut bertujuan untuk menopang harga minyak yang merosot dalam tiga bulan terakhir. Dengan begiu secara tidak langsung Rusia dapat terus menjual minyaknya pada harga yang cukup tinggi meski telah memberikan diskon.

Pemerintahan Joe Biden menyebut keputusan itu sebagai keputusan yang mengejutkan dan picik karena dirasa menambah seret suplai minyak di saat pasokan di pasar sudah ketat.

"Presiden kecewa dengan keputusan picik OPEC+ yang memangkas kuota produksi sementara ekonomi global menghadapi dampak negatif lanjutan dari invasi Putin ke Ukraina," tulis pernyataan Gedung Putih, seperti dikutip Reuters, Kamis (6/10).

Gedung Putih juga mengatakan bahwa Presiden Joe Biden akan terus mempertimbangkan apakah akan melepas persedian minyak untuk menurunkan harga.

Para pejabat AS mengatakan, alasan Washington menginginkan harga minyak yang lebih rendah adalah untuk menghilangkan pendapatan minyak Moskow yang dapat digunakan untuk membiayai perang di Ukraina.

Biden melakukan perjalanan ke Riyadh tahun ini tetapi gagal mendapatkan komitmen kerja sama yang kuat tentang energi. Hubungan semakin tegang karena Arab Saudi tak mengecam tindakan Moskow di Ukraina.

Pengurangan pasokan minyak yang diputuskan di Wina pada hari Rabu bisa memacu pemulihan harga minyak yang telah turun menjadi sekitar US$ 90 dari US$ 120 pada tiga bulan lalu di tengah kekhawatiran resesi ekonomi global, kenaikan suku bunga AS dan nilai tukar dolar yang menguat.

Pemimpin de facto OPEC, Arab Saudi, mengatakan pemangkasan produksi 2 juta barel per hari (bph) setara dengan 2% dari pasokan global. Sikap ini diambil untuk menanggapi kenaikan suku bunga di Barat dan ekonomi global yang lebih lemah.

Arab Saudi menolak tudingan bahwa mereka bersekongkol dengan Rusia, yang juga termasuk dalam kelompok OPEC+, untuk mendorong harga minyak lebih tinggi.

Menteri Energi Arab Saudi, Abdulaziz bin Salman, mengatakan OPEC+ perlu proaktif karena bank sentral di seluruh dunia terlambat untuk mengatasi lonjakan inflasi dengan suku bunga yang lebih tinggi.

Pangeran Abdulaziz mengatakan pemangkasan sebenarnya adalah 1,0-1,1 juta bph. Pemangkasan produksi sebesar 2 juta bph dinilai tidak akan terlalu dalam karena produksi OPEC+ turun sekitar 3,6 juta bph dari target bulan Agustus.

Minimnya produksi terjadi karena sanksi Barat terhadap negara-negara seperti Rusia, Venezuela dan Iran serta sejumlah produsen seperti Nigeria dan Angola yang mengalami masalah produksi.

Analis dari Jefferies memperkirakan pemangkasan produksi berada pada 0,9 juta bph, sementara Goldman Sachs mengatakan pada 0,4-0,6 juta bph. Goldman Sachs mengatakan pemangkasan produksi minyak akan datang dari Arab Saudi, Irak, Uni Emirat Arab dan Kuwait.

Negara Barat menuduh Rusia menggunakan energi sebagai senjata. Melonjaknya harga gas dan perebutan untuk menemukan energi alternatif menciptakan krisis di Eropa yang dapat memicu penjatahan gas dan listrik pada musim dingin ini.

Sementara itu, Rusia menuduh Barat memanfaatkan dolar AS dan sistem keuangan seperti mekanisme pembayaran internasional SWIFT sebagai pembalasan atas pengiriman pasukan Rusia ke Ukraina pada Februari.

Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak, yang dimasukkan dalam daftar sanksi khusus warga negara AS minggu lalu, juga melakukan perjalanan ke Wina untuk berpartisipasi dalam pertemuan.

Novak tidak berada di bawah sanksi Uni Eropa. Dia dan anggota OPEC+ lainnya sepakat untuk memperpanjang kerja sama dengan OPEC selama satu tahun hingga akhir 2023. Pertemuan OPEC+ berikutnya akan berlangsung pada 4 Desember 2022.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu