Eropa Habiskan Nyaris Rp 13 Kuadriliun untuk Tangani Krisis Energi

ANTARA FOTO/REUTERS/Hannah McKay/aww/cf
Suasana stasiun King's Cross, London, Inggris, Senin (21/12/2020). Negara-negara Eropa, termasuk Inggris disebut telah menghabiskan nyaris Rp 13 kuadriliun untuk menangani krisis energi.
Penulis: Happy Fajrian
13/2/2023, 13.07 WIB

Negara-negara di Eropa diperkirakan telah menghabiskan hampir € 800 miliar, tepatnya € 792 miliar atau hampir Rp 13.000 triliun (Rp 13 kuadriliun), untuk menangani krisis energi yang mendera sejak akhir 2021.

Menurut laporan lembaga think tank Bruegel yang berbasis di Brussel, Belgia, jumlah tersebut mayoritas digunakan untuk melindungi rumah tangga dan perusahaan dari lonjakan tagihan energi seiring melambungnya harga minyak, gas alam, hingga batu bara.

Adapun negara-negara Uni Eropa (UE) hingga kini telah menggelontorkan € 681 miliar atau lebih dari Rp 11 kuadriliun untuk penanganan krisis energi, Inggris € 103 miliar atau sekitar Rp 1,7 kuadriliun, dan Norwegia € 8,1 miliar atau lebih dari Rp 103 triliun.

Total € 792 miliar lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya sebesar € 706 miliar pada laporan November. Bruegel menyampaikan peningkatan tersebut seiring dengan dampak dari Rusia yang menghentikan sebagian besar pengiriman gasnya ke Eropa pada 2022.

Jumlah tersebut juga lebih besar dari anggaran pemulihan Covid-19 kawasan negara-negara UE sebesar € 750 miliar dalam bentuk utang yang disetujui pada 2020. Dana tersebut kemudian didistribusikan ke 27 negara anggota UE untuk mengatasi pandemi.

Adapun dalam laporan tersebut Jerman menduduki puncak dengan total pengeluaran krisis energi mencapai hampir € 270 miliar atau sekitar Rp 4,4 kuadriliun. Inggris, Italia, dan Prancis menjadi yang tertinggi berikutnya dengan pengeluaran masing masing kurang dari € 150 miliar atau Rp 2,4 kuadriliun.

Berdasarkan belanja per kapita, Luksemburg, Denmark, dan Jerman, menjadi tiga negara dengan pengeluaran terbesar. Simak databoks berikut:

Laporan terbaru mengenai pengeluaran krisis energi negara-negara Eropa dirilis ketika kawasan tersebut tengah memperdebatkan proposal UE untuk melonggarkan aturan bantuan negara lebih lanjut untuk proyek teknologi hijau, untuk menyaingi subsidi proyek hijau di Amerika dan Cina.

Rencana tersebut menimbulkan kekhawatiran di beberapa negara UE bahwa mendorong lebih banyak bantuan negara akan mengganggu ketenangan pasar internal blok tersebut. Jerman telah menghadapi kritik atas paket bantuan energinya yang sangat besar, yang jauh melampaui kemampuan negara-negara UE lainnya.

Bruegel mengatakan pemerintah telah memfokuskan sebagian besar dukungan pada langkah-langkah yang tidak ditargetkan untuk mengekang harga eceran yang dibayar konsumen untuk energi, seperti pemotongan PPN pada batas harga bensin atau listrik eceran.

Bruegel mengatakan bahwa dinamika perlu diubah, karena negara bagian kehabisan ruang fiskal untuk mempertahankan pendanaan sebesar itu.

“Alih-alih langkah-langkah menekan harga yang merupakan subsidi bahan bakar fosil secara de facto, pemerintah sekarang harus mendorong lebih banyak kebijakan pendukung pendapatan yang ditargetkan ke dua kuintil terendah dari distribusi pendapatan dan menuju sektor strategis ekonomi,” kata analis riset Giovanni Sgaravatti seperti dikutip Reuters, Senin (13/2).