Bank Dunia: Ekonomi Cina Bakal Bebani Pertumbuhan Ekonomi Asia Timur

123RF.com/Liu Fuyu
Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Cina pada 2024 hanya akan tumbuh 4,4%, lebih rendah dibandingkan proyeksi April lalu sebesar 4,8%.
Penulis: Hari Widowati
2/10/2023, 16.58 WIB

Bank Dunia telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Cina pada 2024. Lembaga keuangan dunia itu juga memperingatkan bahwa ekonomi negara-negara berkembang di Asia Timur akan mencapai level pertumbuhan terendah dalam satu dekade terakhir seiring menguatnya proteksionisme Amerika Serikat dan lonjakan beban utang.

Prospek ekonomi 2024 yang lebih muram itu menunjukkan kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi Cina yang bakal menyeret Asia. Para pembuat kebijakan di negeri Xi Jinping sudah menetapkan target pertumbuhan ekonomi terendah dalam beberapa dekade terakhir pada 2023 di level 5%. Berdasarkan sejumlah indikator ekonomi yang melemah, Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi Cina pada 2024 hanya akan tumbuh 4,4%, lebih rendah dibandingkan proyeksi April lalu sebesar 4,8%.

Bank Dunia juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang di Asia Timur dan kawasan Pasifik, termasuk Cina, menjadi 4,5% pada 2024. Angka ini juga lebih rendah dibandingkan proyeksi April lalu sebesar 4,8%. Proyek ini menunjukkan bahwa Asia Timur, yang selama ini menjadi mesin pertumbuhan ekonomi utama dunia, mencapai laju pertumbuhan ekonomi paling lambat sejak akhir 1960-an. Namun, asumsi ini tidak menghitung kejadian luar biasa seperti pandemi Covid-19, krisis finansial Asia, dan lonjakan harga minyak global pada 1970-an.

Para ekonom berharap pertumbuhan ekonomi Cina pulih setelah pemerintah melonggarkan pembatasan wilayah (lockdown) pasca pandemi Covid-19. "Para ekonom berharap pertumbuhan ekonomi Cina bisa lebih berkelanjutan dan lebih signifikan dibandingkan dengan kenyataannya," ujar Aaditya Mattoo, Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, seperti dikutip Financial Times.

Bank Dunia menunjukkan data penjualan retail Cina yang berada di bawah level sebelum pandemi, harga rumah yang stagnan, dan meningkatnya utang rumah tangga serta investasi di sektor swasta yang melambat.

Mattoo memperingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah akan berlanjut kecuali pemerintah negara-negara Asia, termasuk Cina, melakukan reformasi yang lebih mendalam di sektor jasa. Namun, Bank Dunia menilai transisi dari pertumbuhan ekonomi yang dipimpin oleh sektor properti dan investasi itu cukup menantang bagi banyak negara Asia.

Proteksionisme AS Menurunkan Ekspor Negara-negara Asia Tenggara

Pelemahan permintaan global juga mencapai level terendah. Ekspor Indonesia dan Malaysia turun lebih dari 20% sedangkan di Cina dan Vietnam penurunannya mencapai 10% dibandingkan dengan kuartal kedua 2022. Lonjakan utang rumah tangga, korporasi, dan pemerintah memperburuk prospek pertumbuhan ekonomi.

Kondisi negara-negara Asia ini menunjukkan efek dari kebijakan pemerintah Amerika Serikat di sektor industri dan perdagangan di bawah Undang-Undang Penurunan Inflasi (Inflation Reduction Act) serta Undang-Undang mengenai Cip dan Ilmu Pengetahuan (Chips and Science Act).

Selama bertahun-tahun, ketegangan hubungan dagang antara AS dan Cina serta kebijakan tarif yang dikenakan AS terhadap Cina menguntungkan negara-negara Asia Tenggara, misalnya Vietnam. Kedua UU yang terbit pada 2022 ini didesain untuk mendorong sektor manufaktur AS dan mengurangi ketergantungan AS terhadap impor barang-barang dari Cina. Namun, kedua UU itu juga menyebabkan penurunan ekspor dari negara-negara Asia Tenggara ke AS.

Ekspor barang-barang elektronik dan mesin-mesin dari Cina dan negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Thailand menurun setelah kebijakan proteksionisme AS berlaku. Hal ini berbeda dengan perdagangan antara AS dengan Kanada dan Meksiko yang dikecualikan dari ketentuan konten lokal yang terkait dengan subsidi AS.

Ada kekhawatiran negara-negara Asia Tenggara akan membalas perlakuan AS ini. Para pelaku usaha di Indonesia mengkritik pengecualian yang tidak adil ini, khususnya terhadap paket subsidi AS untuk teknologi yang ramah lingkungan.

Indonesia yang merupakan pemilik cadangan nikel terbesar di dunia dan sangat dibutuhkan untuk produksi baterai kendaraan listrik. Pemerintah Indonesia sedang menegosiasikan provisi agar ekspor mineralnya diperlakukan sama dengan Kanada atau Meksiko.