Krisis properti yang membelit para pengembang raksasa di Cina semakin dalam. Yang terbaru, Country Garden Holdings China menyatakan mereka mungkin tidak dapat memenuhi seluruh kewajiban pembayaran utang luar negeri mereka sesuai jadwal maupun setelah masa tenggang diberikan. Hal ini terjadi di saat pengembang properti swasta terbesar di negara tersebut tengah berjuang dengan restrukturisasi utang.
"Ketidakmampuan untuk membayar utang luar negeri ini bisa memaksa para kreditor untuk meminta perusahaan mempercepat pembayaran utang atau melakukan tindakan lainnya untuk menagih utang," kata manajemen Country Garden dalam keterbukaan informasi kepada Bursa Hong Kong seperti dikutip Reuters, pada Selasa (10/10).
Country Garden kini menghadapi ketidakpastian yang signifikan terhadap rencana penjualan aset-asetnya. Posisi kas perusahaan juga masih tertekan. Country Garden memiliki obligasi global atau obligasi yang diterbitkan di luar negeri senilai US$ 10,96 miliar dan obligasi dalam mata uang asing yang diterbitkan di Cina senilai US$ 5,81 miliar.
Perusahaan-perusahaan yang berkontribusi terhadap 40% penjualan properti Cina mengalami gagal bayar dalam krisis terburuk di sektor properti sejak 2021. Sebagian besar adalah perusahaan properti swasta. Akibatnya, banyak proyek perumahan mangkrak.
Masalah ini semakin memburuk seiring dengan menguapnya kepercayaan investor terhadap pasar perumahan dan pasar modal. Alhasil, para pengembang properti pun mengalami kekeringan likuiditas karena mereka kesulitan menerbitkan utang baru atau mencari pendanaan segar dari pasar keuangan.
Country Garden telah menunjuk Houlihan Lokey, China International Capital Corporation (CICC), dan firma hukum Sidley Austin sebagai penasihat untuk memeriksa struktur permodalan dan likuiditas perusahaan.
Analis Morningstar Jeff Zhang mengatakan penunjukan para penasihat tersebut akan menunjukkan apakah perusahaan akan bergantung pada hasil restrukturisasi utang luar negeri. Hasil yang ditunjukkan dalam dua pekan ke depan akan sangat menentukan nasib Country Garden.
"Kami tidak mengharapkan likuiditas Country Garden akan membaik secara signifikan di saat konsumen properti dan lembaga keuangan masih berhati-hati dalam mengambil langkah," ujar Zhang, seperti dikutip Reuters.
Country Garden harus membayar kupon utang obligasi dolar tahun 2024 dan 2026 yang jatuh tempo pada 9 Oktober sebesar US$ 66,8 juta. Perusahaan masih memiliki masa tenggang selama 30 hari untuk memenuhi kewajibannya.
Country Garden tidak menyebutkan apakah mereka sudah melunasi pembayaran kupon obligasi dalam dolar AS tersebut. Dalam keterbukaan informasi, perusahaan menyatakan tidak bisa membayar cicilan pokok utang senilai HK$470 juta atau sekitar US$ 60,04 juta pada utang tertentu tetapi tidak menyebutkan secara detail mengenai utang tersebut.
Pengembang properti itu sedang mengupayakan restrukturisasi utang luar negeri. Namun, pekan depan Country Garden akan menghadapi ujian besar ketika seluruh utang luar negerinya berpotensi gagal bayar jika perusahaan tidak bisa membayar kupon yang jatuh tempo senilai US$ 15 juta pada 17 Oktober mendatang.
Krisis yang mendera Country Garden telah merembet ke negara lain, yakni Malaysia. Perusahaan memiliki proyek properti Forest City dengan nilai investasi US$ 100 miliar atau sekitar Rp 1.500 triliun yang kini terancam menjadi kota mati.
Forest City menghadapi banyak tantangan sejak diluncurkan pada 2016, mulai dari masalah regulasi hingga pandemi Covid-19 yang membuat proyek ini terbengkalai. Meski demikian, unit Country Garden di Singapura dan Malaysia menegaskan masih berkomitmen untuk merampungkan proyek raksasa tersebut. Akan tetapi, masalah likuiditas dan ancaman gagal bayar utang luar negeri terbaru yang menimpa Country Garden kembali memunculkan tanda tanya terhadap nasib proyek Forest City.