Industri Senjata Amerika Untung Besar dari Perang Israel - Hamas

Ashraf Amra/Reuters
Ilustrasi, sebuah gedung di Gaza hancur terkena serangan rudal Israel.
Penulis: Agustiyanti
19/10/2023, 11.17 WIB

Perang yang kembali meletus di Timur Tengah antara Israel dan Hamas mendatangkan keuntungan besar bagi industri senjata di Amerika Serikat. Hanya beberapa hari setelah perang kembali dimulai, senjata-senjata dari Amerika Serikat, seperti bom pintar, amunisi, dan sistem pertahanan rusah Iron Dome mulai berdatangan. 

Mengutip The Wall Street Journal, konflik antara Israel dan Hamas hanya pemantik baru di balik lonjakan penjualan senjata internasional. Lonjakan penjualan tak hanya meningkatkan keuntungan dan kapasitas pembuatan senjata di kalangan pemasok Amerika, tetapi juga peluang baru bagi pemerintahan Biden untuk lebih mendekatkan kekuatan militer negara-negara lain dengan Amerika Serikat.

Sebelum perang di Timur Tengah kembali meletus, kondisi geopolitik sudah cukup panas akibat perang di Ukraina dan persepsi meningkatnya ancaman dari Tiongkok terutama terkait Laut Cina Selatan. Banyak negara berbondong-bondong memborong pesawat tempur, rudal, tank, artileri, amunisi, dan senjata mematikan lainnya. 

Lonjakan penjualan juga didorong oleh pesatnya perubahan teknologi dalam peperangan. Hal tersebut membuat negara-negara yang sebenarnya sudah memiliki persenjataan lengkap membeli peralatan generasi baru agar tetap kompetitif.

Produsen senjata di Amerika tak hanya harus memenuhi permintaan pasokan senjata yang lebih banyak ke Istrael, tetapi juga permintaan Ukraina yang sedang melawan Rusia. Mereka juga harus memenuhi permintaan negara sekutu Amerika lainnya di Eropa  seperti Polandia untuk meningkatkan pertahanan mereka sendiri.

Pesanan senilai miliaran dolar tertunda dari negara-negara sekutu di Asia, didorong oleh persepsi meningkatnya ancaman dari Tiongkok.

Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm memperkirakan, pengeluaran militer di seluruh dunia untuk persenjataan, personel dan biaya lainnya pada tahun lalu mencapai US$2,2 triliun. Pengeluaran yang dihitung dalam dolar dan disesuaikan dengan inflasi ini merupakan yang tertinggi setidaknya sejak berakhirnya Perang Dingin. Salah satu pendorong terbesarnya adalah meningkatnya pembelian sistem persenjataan baru.

Belanja pengadaan militer di seluruh dunia, di luar Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia diperkiraan mencapai US$ 241 miliar pada tahun depan, meningkat 23% dibandingkan tahun lalu. 

Berdasarkan database yang dikelola oleh perusahaan yang melacak pengeluaran militer selama hampir dua dekade, Janes, peningkatan tersebut merupakan peningkatan terbesar dalam dua tahun terakhir. 

Amerika Serikat menguasai sekitar 45% ekspor senjata dunia pada tahun lalu, naik dibandingkan satu dekade lalu yang hanya mencapai 30%. Pangsa pasar ini juga hampir lima kali lebih banyak dibandingkan negara lain dan merupakan tingkat tertinggi sejak runtuhnya Uni Soviet.

Tingginya permintaan akan senjata militer yang lebih besar juga mendorong negara-negara produsen senjata lainnya, seperti Turki dan Korea Selatan, untuk meningkatkan ekspor mereka. Ini membuat pembeli memiliki lebih banyak pilihan pada saat terjadi kekurangan pasokan dari Amerika Serikat.

Beberapa negara pembeli besar, seperti Polandia, sekutu NATO yang takut akan agresi Rusia lebih lanjut, mempersenjatai diri mereka secara besar-besaran . Negara-negara lain, seperti Indonesia, yang pernah menjadi pelanggan Rusia dan kini beralih membeli lebih banyak senjata dari negara-negara Barat, berusaha untuk tidak ketinggalan di wilayah-wilayah yang mengalami militerisasi dengan cepat.

Negara-negara di Timur Tengah, mulai dari Israel hingga Arab Saudi, terus menjadi pembeli utama senjata Amerika, pesanan yang kini akan meningkat lagi seiring dengan adanya perang baru. Meningkatnya pembelian senjata telah menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi konflik yang lebih mungkin terjadi, dan lebih mematikan, selain perang yang sudah berlangsung di Eropa dan Timur Tengah.

“Kita hidup di dunia yang sangat rapuh, dengan banyak konflik yang belum terselesaikan,” kata Michael Klare, anggota dewan di organisasi nirlaba Arms Control Association.

Dia mencontohkan,  ketegangan antara Pakistan dan India, atau antara Azerbaijan dan Armenia, yang semuanya telah meningkatkan pembelian peralatan militer baru-baru ini. 

“Ada risiko penjualan senjata ini akan memperburuk konflik regional dan pada akhirnya memicu pecahnya perang di antara negara-negara besar," katanya. 

Namun demikian, menurut dia, lonjakan permintaan terhadap senjata ini  meningkatkan keuntungan industri pertahanan, terutama di Amerika Serikat.

Pemberitahuan Departemen Pertahanan  Amerika Serikat kepada Kongres mengenai usulan penjualan peralatan militer luar negeri antar pemerintah melampaui US$90,5 miliar dalam sembilan bulan pertama tahun ini, melebihi rata-rata penjualan tahunan yang hanya mencapai US$ $65 miliar. 

Penjualan oleh pemerintah AS hanyalah salah satu bagian dari perdagangan senjata global, dimana penjualan langsung dari kontraktor militer merupakan bagian terbesar dari bisnis tersebut. Penjualan militer luar negeri senilai US$51,9 miliar  pada tahun lalu yang mengalir melalui Departemen Pertahanan Amerika Serikat hanya mewakili sepertiga dari $153,7 miliar penjualan langsung resmi senjata, suku cadang, dan layanan militer oleh Amerika Serikat kepada pembeli di luar negeri, termasuk Ukraina.

.