Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengaku kerap kesulitan melakukan tugasnya dalam menangani konflik Israel-Palestina. Alasannya, lembaga dunia tersebut tidak bisa selalu melakukan intervensi terhadap suatu negara.
mengatakan badan dunia yang beranggotakan 193 negara ini memiliki wewenang penuh terhadap suatu negara. Sebagai perwakilan yang menerima mandat, tindakan PBB ditentukan oleh negara-negara anggotanya.
“Ketika PBB tidak bisa melakukan intervensi, itu bukan karena staf PBB tidak mau, tetapi karena negara anggotanya tidak menyetujuinya,” kata Julliand di sela-sela acara Hari PBB di Jakarta, Selasa (24/10).
Menurutnya, PBB sulit untuk melakukan tugasnya dalam situasi kritis karena Dewan Keamanan tidak dapat menyepakati resolusi yang akan memungkinkan intervensi yang lebih cepat dan lebih efektif. Dewan Keamanan merupakan badan tertinggi PBB yang bertanggung jawab untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional.
Namun, kata Julliand PBB memiliki tanggung jawab untuk membantu orang-orang yang membutuhkan, meskipun terkadang tidak memiliki sumber daya yang cukup. Meski begitu, peran PBB tetap penting dan relevan karena dapat menggunakan suaranya untuk membela hak-hak orang yang tertindas. Suara PBB memang terkadang tampaknya lemah, tetapi telah berhasil membawa perubahan di dunia.
“Dalam krisis Palestina, dunia belum menemukan konsensus tentang cara untuk menyelesaikannya. Dan itu sangat buruk karena menyebabkan penderitaan bagi ratusan, ribuan, dan jutaan warga Gaza,” lanjutnya.
Perang di Gaza terus berlanjut menyusul serangan Israel ke wilayah kantong Palestina itu. Krisis kemanusiaan juga dilaporkan sudah parah karena blokade dan keputusan Israel memutus listrik, air, makanan dan pasokan lainnya ke Gaza. Meski aliran bantuan kemanusiaan sudah mulai memasuki Gaza, PBB menyebut jumlah itu masih jauh dari mencukupi.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sebenarnya telah menyerukan gencatan senjata kemanusiaan di Gaza. Dewan Keamanan PBB juga telah mengadakan sidang darurat pada pekan lalu untuk membahas serangan Israel di Gaza sekaligus melakukan pemungutan suara atas rancangan resolusi tentang konflik Israel-Palestina.
Namun, Dewan Keamanan gagal menyepakati resolusi yang menyerukan jeda kemanusiaan di Gaza karena veto dari Amerika Serikat (AS). AS adalah salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB bersama dengan Prancis, China, Rusia, dan Inggris. Anggota tetap memiliki hak veto atau hak untuk menolak atau membatalkan suatu resolusi yang diajukan.
Dewan Keamanan PBB sebelumnya telah menghasilkan sejumlah resolusi terkait konflik Israel-Palestina, di antaranya Resolusi 242 Tahun 1967, yang menyerukan penarikan pasukan Israel dari wilayah yang diduduki setelah Perang Enam Hari dan Resolusi 1397 Tahun 2002 yang menyerukan penghentian kekerasan dan memulai proses perdamaian untuk mendirikan dua negara yang berdampingan dalam batas yang diakui.
Namun, resolusi-resolusi ini tidak berhasil menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk ketidaksepakatan tentang batas-batas negara Palestina dan hak veto AS. AS kerap memblokir resolusi Dewan Keamanan PBB yang mendukung Palestina.