Papua Nugini meratifikasi perjanjian pertahanan dengan Indonesia, setelah mengalami kerusuhan yang mengakibatkan keadaan darurat nasional. Menteri Luar Negeri Papua Nugini, Justin Tkachenko, mengatakan ratifikasi tersebut penting untuk menjaga keamanan yang merupakan pondasi perdagangan, investasi, dan bisnis.
Tkachenko menyampaikan Perjanjian Kerjasama Angkatan Pertahanan antara kedua negara telah ditangguhkan selama 10 tahun terakhir. Namun akhirnya diratifikasi di bawah pemerintahan James-Rosso.
"Di bawah pemerintahan James-Rosso, setelah 10 tahun, kami akhirnya meratifikasi Perjanjian Kerja Sama Pertahanan yang sangat penting ini, antara Indonesia dan Papua Nugini," ujarnya dikutip dari Post-Courier, Jumat (1/3).
Tkachenko menyebutkan kerja sama pertahanan akan meningkatkan kemampuan dan kapasitas keamanan Papua Nugini.
Terutama, untuk mengatasi tantangan keamanan di sepanjang perbatasan yang panjangnya 800 kilometer.
Perjanjian pertahanan tersebut sudah ditandatangani sejak 2010 dan telah diratifikasi oleh Indonesia.
Namun, Papua Nugini baru-baru ini meratifikasi perjanjian tersebut pada 14 Februari, yang mulai berlaku seminggu setelahnya. Dokumen tersebut menegaskan kerja sama di bidang intelijen militer, dukungan logistik, dan koordinasi operasi keamanan.
Duta Besar Indonesia untuk PNG, Andrianna Supandy, mengucapkan terima kasih kepada Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan PNG atas dukungan mereka. Dia juga menyampaikan apresiasi kepada Perdana Menteri James Marape, Wakil Perdana Menteri John Rosso, dan anggota parlemen Papua Nugini atas dukungan mereka dalam meratifikasi perjanjian tersebut.
“Atas nama Pemerintah dan Rakyat Republik Indonesia, saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan atas dukungannya untuk meratifikasi perjanjian kerja sama yang penting ini,” kata Supandy.
Hubungan antara Papua Nugini dan Indonesia menjadi merenggang sejak Papua Barat menjadi bagian dari wilayah Indonesia pada 1969.
Ratifikasi perjanjian oleh Papua Nugini terjadi setelah negara itu mengalami kerusuhan internal yang memicu keadaan darurat nasional. Kerusuhan dimulai ketika tentara, polisi, dan penjaga melakukan pemogokan akibat pemotongan gaji tanpa alasan. Warga yang tidak puas dengan pemerintah juga ikut serta dalam aksi tersebut. Kerusuhan ini kemudian meluas ke Kota Lae.
Sejumlah orang menyerbu toko, merusak kaca, dan melakukan penjarahan. Untuk mengatasi situasi tersebut, pemerintah Papua Nugini mengumumkan status darurat selama 14 hari dan mengerahkan tentara untuk menjaga keamanan di jalanan.
Penulis: Risma Kholiq (magang)