Departemen Kehakiman Amerika Serikat tengah bersiap untuk menentukan nasib Boeing setelah perusahaan tersebut diduga melanggar kesepakatan pada Mei lalu. Mengutip Reuters, pihak kejaksaan berencana mengadakan pertemuan dengan manajemen Boeing dan keluarga para korban yang mengalami kecelakaan fatal.
Pertemuan ini untuk membahas temuan pemerintah Negeri Paman Sam mengenai pelanggaran perjanjian oleh Boeing yang telah disepakati pada 2021. Akibat pelanggaran tersebut, Boeing dapat dituntut secara pidana.
Departemen Kehakiman memiliki tenggat waktu hingga 7 Juli 2024 mendatang untuk memutuskan apakah akan menuntut perusahaan pembuat pesawat kebanggaan Amerika Serikat tersebut secara pidana. Adapun perjanjian yang dilanggar oleh Boeing adalah kesepakatan penangguhan penuntutan atau deferred prosecution agreement (DPA) yang melindungi perusahaan dari tuntutan pidana atas dua kecelakaan Boeing 737 MAX pada 2018 dan 2019 yang menimpa Lion Air JT 610 dan Ethiopian Airlines ET302 dengan korban tewas 346 jiwa.
Menurut informasi narasumber Reuters, kejaksaan setempat telah bertemu dengan pengacara dan manajemen Reuters pada Kamis (27/6/2024). Secara terpisah, jaksa federal dijadwalkan bertemu dengan anggota keluarga korban pada hari Minggu (30/6/2024) untuk memberikan informasi terbaru mengenai kemajuan penyelidikan mereka.
Dalam pertemuan tersebut, pengacara Boeing dari Kirkland & Ellis menyatakan potensi penuntutan yang mengemuka dan disampaikan oleh perwakilan kantor Kejaksaan Agung Amerika Serikat tidak beralasan dan tidak cukup kuat untuk membatalkan kesepakatan yang telah tercapai pada 2021. Namun, mengutip Reuters, tidak ada tanggapan dari Boeing ketika dikonfirmasi atas hal ini.
Sementara itu, para pejabat kehakiman AS menginginkan masukan dari keluarga korban untuk melanjutkan ke upaya penuntutan secara pidana dan kemungkinan penyelesaian lainnya. Pertimbangan penuntutan ini diambil setelah terjadi insiden ledakan pada panel tengah badan pesawat Boeing di tengah penerbangan Alaska Airlines pada 5 Januari 2024 lalu. Beruntung tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut.
Menurut Departemen Kehakiman AS, insiden ini menunjukkan adanya persoalan keselamatan dan kualitas yang serius yang sedang berlangsung di Boeing. Padahal, salah satu garansi yang diberikan agar Boeing lolos dari tuntutan pidana atas konspirasi untuk menipu Badan Penerbangan Federal AS (FAA) yang timbul dari kecelakaan fatal pada tahun 2018-2019 adalah adanya perbaikan kepatuhan yang dibuktikan dalam laporan rutin selama periode tiga tahun DPA.
Saat itu, kejaksaan federal menyatakan setuju untuk membatalkan tuntutan pidana selama Boeing merombak praktik kepatuhannya dan menyerahkan laporan rutin selama periode tiga tahun serta menyetujui pembayaran US$ 2,5 miliar kepada para keluarga korban untuk menyelesaikan penyelidikan.
Namun pada Mei lalu, para pejabat kehakiman dan kejaksaan sepakat Boeing telah melanggar perjanjian tersebut sehingga dapat dituntut secara pidana. "Perusahaan telah gagal untuk merancang, menerapkan, dan menegakkan program kepatuhan dan etika untuk mencegah dan mendeteksi pelanggaran undang-undang penipuan AS di seluruh operasinya," ujar salah satu pejabat Departemen Kehakiman AS kepada Reuters.
Skandal Demi Skandal Ditorehkan Boeing, Mempertaruhkan Keselamatan
Skandal keselamatan Boeing bermula dari kecelakaan Boeing 737 MAX 8 milik Lion Air dengan kode penerbangan JT610. Pesawat yang bertolak dari Jakarta menuju Pangkalpinang tersebut mengalami kecelakaan di perairan lepas pantai Karawang, Jawa Barat, sesaat setelah lepas landas.
Akibat kecelakaan tersebut, 181 penumpang dan delapan kru tewas. Menurut laporan investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), kecelakaan ini diakibatkan adanya kerusakan pada maneuvering characteristic augmentation system (MCAS), sebuah sistem baru yang ditanam di dalam Boeing 737 MAX.
Saat itu, KNKT menyatakan desain, penjelasan, dan sertifikasi fitur ini sangat tidak memadai. Di samping itu, informasi mengenai keberadaan MCAS dan upaya penyelamatan yang dapat dilakukan apabila fitur ini bermasalah, tidak ditemukan dalam buku panduan untuk pilot serta tidak ada pelatihan yang memadai yang diberikan Boeing kepada para pilot mengenai fitur ini.
Lima bulan berselang, kecelakaan serupa menimpa maskapai Ethiopian Airlines berkode penerbangan ET302 yang terbang dari Addis Ababa menuju Nairobi, Kenya. Pesawat tersebut menukik tajam ke bawah setelah enam menit lepas landas sehingga menewaskan seluruh penumpang dan kru yang berada di dalamnya.
Usai dua kejadian tersebut, sebagian besar negara memerintahkan untuk mengandangkan sementara Boeing 737 MAX, termasuk Indonesia. Di Indonesia, Lion Air merupakan konsumen utama Boeing 737 MAX dengan 10 unit armada yang beroperasi.
Setelah itu, muncul whistleblower yang merupakan mantan auditor di perusahaan supplier untuk Boeing. Ia mengungkapkan sejumlah ketidakpatuhan yang dilakukan Boeing, di antaranya pengabaian cacat produksi 737 MAX. Pada April lalu, whistleblower ini meninggal akibat pneumonia.
Selain itu, ada pula John Barnett yang merupakan mantan pekerja Boeing. Barnett mengungkap adanya potensi bahaya yang ditemukan pada seri 787, mencakup 787 MAX dan 787 Dreamliner. Menurut mantan manajer pengawas kualitas tersebut, ada sejumlah cacat produksi pada seri 787 yang berpotensi menyebabkan kecelakaan. Barnett meninggal bunuh diri pada Maret 2024.
Laporan-laporan dari para whistleblower dan adanya desakan yang kuat dari publik dan pemerintah AS membuat Boeing akhirnya mengakui adanya cacat produksi berupa lubang pada bagian belakang seri MAX. Namun Boeing menyatakan lubang tersebut tidak berpengaruh terhadap keselamatan pesawat.
Menjelang berakhirnya DPA, Boeing kembali diterpa isu keselamatan. Otoritas investigasi Amerika Serikat (AS) memberikan peringatan keras kepada Boeing atas insiden penerbangan Alaska Airline yang menggunakan Boeing 737 MAX.
Menurut Badan Keselamatan Transportasi Nasional (NTSB) Amerika Serikat, Boeing melanggar sejumlah peraturan investigasi berdasarkan perjanjian yang ditandatangani kedua belah pihak. Akibatnya, Boeing diblokir dari tinjauan informasi yang dikumpulkan dalam penyelidikan atas kasus tersebut dan melarang Boeing mengajukan pertanyaan kepada para saksi pada sidang investigasi yang akan diadakan Agustus mendatang.
Tak berhenti di situ, salah satu whistleblower mengenai skandal keselamatan Boeing bernama Richard Cuevas mengadukan Boeing karena diduga melakukan tindakan pembalasan setelah ia melaporkan masalah manufaktur yang berbahaya pada Boeing 787 Dreamliner.
Cuevas menyatakan ia dipecat sepihak dan tiba-tiba pada Maret 2024. Sebelumnya, ia melaporkan adanya penyimpangan sekat tekanan depan pesawat, yang sangat penting untuk mengelola tekanan selama penerbangan.
Cuevas merupakan salah satu pekerja kontraktor yang membuat badan pesawat Dreamliner. Pada 2023 lalu, ia menyatakan Spirit AeroSystems melakukan perubahan tanpa izin pada dimensi lubang pengikat di sekat tekanan depan pada pesawat 787 tanpa pemberitahuan.
Laporan tersebut ia sampaikan kepada Administrasi Penerbangan Federal (FAA) dan Administrasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja (OHSA). Ia membuat laporan mengenai dugaan penipuan yang dilakukan Boeing dan Spirit kepada kepada publik dan investor tentang keselamatan dari 787 Dreamliners.
Laporan senada pernah disampaikan oleh insinyur Boeing, Sam Salehpour, yang bersaksi di depan sidang senat pada April lalu mengenai manufaktur 787 yang berbahaya. Ia melaporkan Boeing mengambil jalan pintas dalam pembuatan pesawat 787 dan 777. Usai pengakuannya, ia diancam akan dipecat.