Para ilmuwan yang mempelajari penyebaran flu burung di Amerika Serikat (AS) mengatakan mereka khawatir akan kurangnya data dalam melacak virus flu burung tipe A H5N1. Dalam beberapa bulan terakhir, penyakit ini telah menyebar ke 129 kelompok sapi di 12 negara bagian.
Para ahli telah mengidentifikasi penyakit ini pada mamalia lain, dari alpaka hingga kucing rumahan. Para ilmuwan prihatin dengan meningkatnya kasus flu burung pada sapi. Mereka mengatakan bahwa peningkatan tersebut kemungkinan menunjukkan bahwa virus telah berubah (bermutasi). Perubahan semacam itu dapat membuat virus lebih mudah menyebar dari hewan ke manusia.
Tiga orang di AS telah dites positif mengidap flu burung H5N1 sejak akhir Maret lalu. Mereka terinfeksi setelah melakukan kontak dekat dengan sapi.
Scott Hensley, seorang profesor mikrobiologi di Universitas Pennsylvania, mengatakan bahwa ancaman pandemi saat ini masih rendah, namun dapat meningkat dengan cepat.
Para pejabat kesehatan mengatakan bahwa semakin dini mereka mengetahui tentang kasus-kasus infeksi pada manusia, semakin cepat mereka dapat mengambil langkah-langkah untuk mengurangi penyebarannya.
Pemerintah AS melakukan tes terhadap sapi-sapi untuk mengetahui adanya virus ini. Namun, tes-tes tersebut saat ini masih terbatas pada sapi-sapi yang melintasi perbatasan negara bagian.
Pejabat kesehatan pemerintah dan pakar flu pandemi mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa hanya ada sedikit sekali pengujian terhadap orang-orang yang melakukan kontak dengan sapi yang sakit.
Risiko terhadap Kesehatan Manusia Masih Rendah
Lembaga kesehatan manusia dan hewan terkadang berbeda dalam cara mereka menangani flu. Para ahli mengatakan bahwa perbedaan-perbedaan ini dapat mempersulit upaya untuk merespons wabah dengan cepat.
Meski begitu, juru bicara Departemen Pertanian AS mengatakan bahwa badan tersebut bekerja sepanjang waktu dengan Pusat Pengendalian Penyakit AS (CDC). Juru bicara tersebut menambahkan penelitian menunjukkan bahwa pasokan makanan Amerika tetap aman. Sapi yang sakit umumnya sembuh setelah beberapa minggu, dan risiko terhadap kesehatan manusia tetap rendah.
Beberapa pandemi, termasuk COVID-19, datang dengan sedikit peringatan. "Pada pandemi flu terakhir, yang disebabkan oleh H1N1 pada tahun 2009, virus ini pertama kali menyebar di antara hewan selama beberapa tahun," kata Hensley seperti dikutip VoA, Rabu (10/7). Namun, pelacakan lebih lanjut terhadap virus ini akan membantu para petugas kesehatan untuk mempersiapkan diri.
CDC memperkirakan bahwa sekitar 150.000 hingga setengah juta orang meninggal di seluruh dunia selama pandemi 2009.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa tidak ada bukti penyebaran H5N1 dari manusia ke manusia. Oleh karena itu, WHO mengatakan bahwa risiko terhadap manusia saat ini masih rendah.
Wenqing Zhang adalah Kepala Badan Kesiapsiagaan Influenza Global WHO. Ia mengatakan bahwa organisasi-organisasi kesehatan memiliki cara untuk meluncurkan produksi tes, perawatan, dan vaksin dalam jumlah besar jika diperlukan.
Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi (CEPI) adalah organisasi nirlaba yang berbasis di Oslo, Norwegia. Organisasi ini bekerja untuk mengembangkan vaksin dan cara lain untuk melawan pandemi.
CEPI bertujuan untuk membuat koleksi vaksin untuk virus yang dapat menyebabkan pandemi. Hal ini akan membantu para pembuat obat untuk memulai produksi dalam jumlah besar dan mengirimkan obat jika diperlukan dalam waktu 100 hari setelah wabah.
Beberapa negara telah mengambil langkah-langkah untuk melindungi masyarakatnya dari H5N1. Amerika Serikat dan Eropa sedang mengumpulkan vaksin flu "pra-pandemi" yang dapat digunakan untuk kelompok-kelompok berisiko tinggi, termasuk para pekerja pertanian atau laboratorium.
Zhang mengatakan bahwa memperluas vaksin ke lebih banyak orang merupakan hal yang kompleks. "Para pembuat vaksin flu pandemi membuat vaksin flu musiman dan tidak dapat memproduksi keduanya sekaligus," ujarnya.
Sebagian besar vaksin flu dibuat dengan menggunakan virus yang ditumbuhkan di dalam telur. Itu berarti dibutuhkan waktu hingga enam bulan untuk memproduksi vaksin pandemi. Namun, vaksin mRNA dapat diproduksi lebih cepat.
Pada tanggal 2 Juli, pemerintah AS memberikan dana sebesar US$176 juta (Rp 2,88 triliun) kepada produsen obat Moderna untuk menyelesaikan pengembangan dan pengujian vaksin mRNA melawan H5N1.
Para ahli juga mengatakan bahwa ada kebutuhan untuk menyeimbangkan antara tindakan cepat dengan reaksi yang terlalu kuat terhadap ancaman virus.
Wendy Barcla, seorang ahli virus di Imperial College London dan penasihat Badan Keamanan Kesehatan Inggris mengenai flu burung, mengatakan bahwa para pejabat kesehatan ingin memberikan peringatan tanpa mengatakan bahwa dunia akan kiamat.