Pilpres Amerika Serikat Gunakan Sistem Electoral College, Ini Aturan Mainnya

Intagram USAGov
Pilpres Amerika Serikat
Penulis: Kamila Meilina
Editor: Yuliawati
5/11/2024, 11.33 WIB

Pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) yang akan dilaksanakan pada hari ini, merupakan pertandingan sengit antara Partai Demokrat dengan Kamala Harris dan Partai Republik yang mengusung kembali Donald Trump. Pilpres Amerika menggunakan sistem yang khas dikenal sebagai Electoral College.

Dalam sistem ini, pemilih AS tidak memilih presiden secara langsung, melainkan memilih "elektor" yang nantinya akan berkumpul untuk memilih presiden.

Pemilihan presiden ke-27 dan wakil presiden ke-50 AS jatuh pada Selasa (5/11) waktu setempat. Penentuan tanggal ini sesuai dengan aturan konstitusi, yakni pada Selasa pertama setelah Senin pertama di bulan November.

Berikut beberapa aturan penting dalam sistem Pilpres Amerika atau electoral college:

Pemilihan Tak Langsung

Dalam electoral college, setiap negara bagian memiliki jumlah elektor yang setara dengan jumlah anggota di Kongres atau gabungan antara perwakilan di Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Total terdapat 538 suara elektoral secara nasional, dan seorang kandidat perlu meraih setidaknya 270 suara untuk memenangkan pemilu.

Sebagian besar negara bagian menerapkan sistem winner-takes-all, di mana semua suara elektoral akan diberikan kepada kandidat yang memperoleh suara terbanyak di negara bagian tersebut.

Namun hal tersebut tidak berlaku di Maine dan Nebraska yang menerapkan sistem proporsional, di mana suara elektoral dialokasikan berdasarkan kemenangan di setiap distrik kongresional, memberikan peluang bagi beberapa kandidat untuk mendapatkan suara elektoral dalam satu negara bagian.

Hasil Bisa Berbeda dari Calon Populer dengan Elektoral

Secara alami, pemilihan bisa membagi suara rakyat terhadap para calon. Calon yang mendapatkan dukungan paling banyak dari warga merupakan calon populer (popular vote), tetapi belum tentu menjadi calon yang terpilih secara elektoral.

Sistem electoral college memunculkan kasus di mana kandidat yang menang secara suara populer gagal menjadi presiden karena kalah dalam suara elektoral.

Situasi ini terjadi, misalnya, pada pemilu 2000 dan 2016, di mana kandidat dengan suara populer lebih banyak akhirnya kalah dalam perhitungan Electoral College. Akibatnya, perdebatan mengenai representasi rakyat dalam sistem ini pun terus bergulir.

Pendukung Electoral College berargumen bahwa sistem ini memberikan keseimbangan antara negara bagian besar dan kecil serta mencegah dominasi suara dari wilayah tertentu. Namun, para kritikus menilai sistem ini sudah usang dan tidak sepenuhnya mencerminkan keinginan mayoritas pemilih di AS.

Kelemahan Sistem

Sistem Electoral College sering dipandang sebagai kurang demokratis karena beberapa alasan. Salah satu kritik utamanya adalah masalah faithless electors atau elektor yang memilih kandidat yang berbeda dari hasil suara populer negara bagian mereka.

Meski jarang, tindakan ini mencerminkan ketidakpastian dalam sistem dan ketidakpatuhan terhadap suara mayoritas. Selain itu, perolehan suara dalam negara bagian kunci dengan margin yang sangat tipis sering kali menentukan seluruh alokasi suara elektoral untuk negara bagian tersebut.

Contohnya pada pemilu 2016, Donald Trump hanya menang tipis di Michigan (13.080 suara, 0,3%), Wisconsin (27.257 suara, 1,0%), dan Pennsylvania (68.236 suara, 1,2%), yang memberinya total 46 suara elektoral serta kemenangan dalam pemilihan presiden.

Hal ini membuat beberapa pihak khawatir akan pengaruh manipulasi informasi dalam pemilu. Pergeseran suara sekecil 1% atau kurang yang didorong oleh narasi palsu dapat mengubah hasil pemilu.

Rekan dari Brookings Institution, Elaine Kamarck dan Darrell M. West, berpendapat, “berita palsu tidak perlu mempengaruhi mayoritas pemilih Amerika untuk mengubah hasil pemilu, cukup mempengaruhi sejumlah kecil pemilih di negara bagian kunci,” dilansir dari The Conversation.

Reporter: Kamila Meilina