Mata Uang Rial Terpuruk, Iran Dilanda Demonstrasi Besar-besaran
Aksi protes terbesar di Iran dalam tiga tahun terakhir meletus pada Senin (29/12) setelah mata uang negara itu anjlok ke titik terendah sepanjang sejarah terhadap dolar AS, dan gubernur Bank Sentral mengundurkan diri.
Televisi pemerintah melaporkan pengunduran diri Gubernur Bank Sentral Iran Mohammad Reza Farzin, sementara para pedagang dan pemilik toko berunjuk rasa di Jalan Saadi di pusat kota Teheran, serta di lingkungan Shush dekat Pasar Besar Teheran. Para pedagang di pasar tersebut memainkan peran penting dalam Revolusi Islam 1979 yang menggulingkan monarki dan membawa kaum Islamis berkuasa.
Kantor berita resmi IRNA mengonfirmasi protes tersebut. Saksi mata melaporkan unjuk rasa serupa juga terjadi di kota-kota besar lainnya termasuk Isfahan di Iran tengah, Shiraz di selatan, dan Mashhad di timur laut. Di beberapa tempat di Teheran, polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan para demonstran.
Protes pada Senin (29/12) adalah yang terbesar sejak tahun 2022, ketika kematian Mahsa Jina Amini dalam tahanan polisi memicu demonstrasi nasional. Perempuan berusia 22 tahun itu ditangkap oleh polisi moral Iran karena diduga tidak mengenakan hijab dengan benar.
Para saksi mengatakan kepada Associated Press (AP) bahwa para pedagang menutup toko mereka dan meminta orang lain untuk melakukan hal yang sama. Kantor berita semi-resmi ILNA mengatakan banyak bisnis berhenti berdagang meskipun beberapa tetap membuka toko mereka.
Pada hari Minggu (28/12), protes terbatas pada dua pasar keliling utama di pusat kota Teheran, di mana para demonstran meneriakkan slogan-slogan anti-pemerintah.
Depresiasi Rial Membuat Inflasi Melonjak
Nilai tukar rial Iran pada hari Minggu (28/12) anjlok menjadi 1,42 juta per dolar AS. Pada hari Senin (29/12), nilai tukar rial diperdagangkan sebesar 1,38 juta terhadap dolar AS.
Laporan tentang kemungkinan pengunduran diri Farzin telah beredar selama seminggu terakhir. Ketika ia menjabat pada tahun 2022, nilai tukar rial berada di sekitar 430.000 per dolar AS.
Depresiasi rial yang terjadi dengan cepat memperburuk tekanan inflasi, mendorong kenaikan harga makanan dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Kondisi ini semakin membebani anggaran rumah tangga, sebuah tren yang dapat memburuk dengan perubahan harga bensin yang diperkenalkan beberapa hari lalu.
Menurut pusat statistik negara, tingkat inflasi Iran pada Desember 2025 naik menjadi 42,2% dari periode yang sama tahun lalu dan 1,8% lebih tinggi daripada bulan November. Harga makanan naik 72% sedangkan harga barang-barang kesehatan dan medis naik 50% dari Desember tahun lalu, menurut data pusat statistik Iran. Banyak kritikus melihat tingkat tersebut sebagai tanda mendekati hiperinflasi.
Rencana Kenaikan Pajak
Laporan di media resmi Iran menyebutkan pemerintah berencana untuk menaikkan pajak pada tahun baru Iran yang dimulai pada 21 Maret mendatang. Hal ini semakin menambah kekhawatiran masyarakat terhadap kondisi ekonomi.
Mata uang Iran diperdagangkan pada 32.000 rial per dolar AS pada saat kesepakatan nuklir 2015 yang mencabut sanksi internasional sebagai imbalan atas kontrol ketat terhadap program nuklir negara tersebut. Kesepakatan itu berantakan setelah Presiden AS Donald Trump secara sepihak menarik Amerika Serikat dari kesepakatan tersebut pada 2018.
Ketidakpastian mengenai risiko konflik yang kembali terjadi setelah perang 12 hari pada Juni 2025 yang melibatkan Iran dan Israel. Banyak warga Iran juga khawatir akan kemungkinan konfrontasi yang lebih luas yang dapat melibatkan Amerika Serikat, sehingga menambah kecemasan pasar.
Pada September 2025, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberlakukan kembali sanksi terkait nuklir terhadap Iran melalui apa yang digambarkan oleh para diplomat sebagai mekanisme "snapback". Langkah-langkah tersebut sekali lagi membekukan aset Iran di luar negeri, menghentikan transaksi senjata dengan negara-negara lain, dan memberlakukan sanksi yang terkait dengan program rudal balistik Iran.